Kamis, 17 September 2015

Perda RTRW Kota Makassar



Sulawesi Selatan memiliki panjang garis pantai sekitar 1.973,7 km dengan luas perairan laut 45.574,48 km2, yang terdiri dari 3 kawasan yakni Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone, serta memiliki hamparan pulau-pulau kecil dalam kawasan kepulauan Spermonde. Hal ini merupakan salah satu potensi yang cukup besar bila dikelola dengan baik, sehingga ke depan dapat menghasilkan devisa negara yang cukup besar.
               Untuk itu, potensi pesisir yang bisa menghasilkan sesuatu itu sangat besar, namun potensi pesisir yang ada di pantai losari menjadi “perseteruan” antara pemerintah dan para penimbun atau orang yang menguasai lahan tersebut tanpa ada dokumen yang sah. Seperti halnya pengusaha yang mengklaim hampir seluruh pesisir pantai losari dikalim adalah miliknya. Bahkan proses tersebut masih berlangsung tapi apa lacur, pembangunan di kawasan tersebut tetap berjalan.
            Hal ini mungkin karena aturan tentang wilayah peisisr belum ada sehingga para pemodal berlomba untuk membangun daerah tersebut. meski aturan diabaikan karena memang belum tampak di permukaan. Akan tetapi baru-baru ini Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar resmi disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) yang dilakukan oleh DPRD Kota Makassar melalui sidang paripurna DPRD  di Ruang Paripurna DPRD Makassar. Adanya perda RTRW ini sehingga daerah atau wilayah pesisir Makassar sudah bisa menata kembali wilayahnya. RTRW mengatur tata ruang secara umum dan secara khusus akan dimasukkan dalam ranperda RDTW (Rencana Detail Tata Ruang).
Kalau kita amati dan mengikuti perkembangan yang ada bahwa pembuatan perda RTRW ini cukup memakan waktu yang tergolong lama. Bahkan tidak kurang dari tujuh tahun dibahas oleh anggota dewan baru ada keputusan tentang RTRW Kota Makassar. Nah, sekarang sudah ada aturannya sehingga siapa saja bisa berpedoman kepada RTRW tersebut. jangan sampai perda ini hanya dibuat dan menjalankannya hanya panas-panas tahi ayam.
Memang diakui bahwa pada saat pertama kali diberlakukan semuanya harus patuh dan tidak boleh ada yang melanggar, tapi lama-kelamaan perda tersebut hanya “pajangan” saja lantaran semua orang yang berkepetingan di daerah pesisir tidak akan melihat atau memedomani lagi, sehingga terkesan perda dibuat hanya untuk memenuhi kriteria sebagai kota yang memiliki wilayah pesisir.
Olehnya itu, perda yang baru saja disahkan ini sangat membutuhkan banyak pengorbanan mulai dari tim yang dibentuk hingga kepada penggunaan anggaran. Jadi kalau sudah ada perdanya, maka aturan itu harus dijalankan dengan baik dan tegas tanpa memilih merek. Jika sudah melanggar aturan maka tidak segan-segan melakukan penindakan karena kalau orang seperti ini diloloskan atau diberikan kebijakan, maka itu sangat bertentangan dengan aturan dan bisa-bisa mempermainkan aturan yang telah dibuat itu.
Bisa dibayangkan kalau membuat satu perda (RTRW) membutuhkan waktu kurang lebih tujuha tahun lamanya, maka itu perlu dipikirkan ke depannya. Sebab jangan sampai perda ini tidak berjalan mulus sesuai dengan harapan banyak orang. Bisa perda ini dipermainkan kalau orang yang banyak duit, maka apa saja bisa dilakukan demi untuk mencapai tujuan tertentu. Apalagi penegakan hukum kita di tanah air terkesan bisa diatur dan bahkan bisa “dibeli” sehingga sebagian masyarakat tidak terlalu percaya lagi dengan produk hukum di negara ini.
Wajar saja jika semua aturan yang dibuat itu  masih penuh dengan tanda tanya. Apakah berjalan dengan mulus atukah hanya sepintas. Yang jelas sudah ada produknya sehingga tidak dicap lagi sebagai daerah yang tidak memiliki aturan. Apalagi kawasan Center Poin of Indonesia (CPI) sudah dikenal oleh masyarakat dan disitupula banyak terjadi pelanggaran yang tidak sesuai dengan atura yang ada.
Meski perda telah selesai dibuat tapi yang menjalankan aturan itu perlu dipertanyakan dengan baik. Jangan sampai aturan yang telah dibuat hanya “pajangan” saja sehingga yang berbuat salah tetap berjalan dengan santainya. Apalagi daerah ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengembangan di wilayah pesisir, apalagi jika pembangunannya itu menyentuh rakyat kecil yang selama ini masih terkesan dipinggirkan. Pasalnya, masyarakat yang berdomisli di daerah pesisir  masih sering disebut sebagai masyarakat yang tergolong miskin, sehingga perlu perhatian dari pemerintah untuk mengatasi julukan tersebut.
Jika dilihat kawasan pesisir Kota Makassar, khususnya kawasan CPI yang kini dalam pengembangan kawasan untuk kepentingan masyarakat, tapi itu sebenarnya harus tetap merujuk kepada aturan yang ada. Jangan sampai dilakukan pengembangan tapi disisi lain banyak kerugian yang ditimbulkan terutama bagi masyarakat yang berdomisli di daerah itu.
Muncul pertanyaan bahwa apakah hanya kawasan tersebut satu-satunya bisa dikembangkan. Padahal sejak dulu daerah tersebut cukup bagus dalam pemandangan masyarakat luar karena daerah ini terutama pinggir pantai yang sudah dikenal dengan ”kursi tepanjang di dunia”. Akan tetapi kalau sudah ada bangunan yang terdapat di luarnya, maka itu sudah pasti bahwa penghalang pandangan sudah jelas terjadi dan itu tidak bisa dipungkiri bahwa pantai losari sudah melenceng dari keasliannya.
Padahal, kalau dilihat dimana wisatawan manca negara selalu mencari tempat-tempat yang asli dalam menikmati keindahan alam yang ada. Tapi kalau sudah direklamasi maka itu sudah jauh bergerser dari apa yang diharapkan itu.
Olehnya itu, adanya RTRW ini, maka daerah pesisir bisa diselamatkan dari kehancuran sebab kalau ada perda tapi tidak dipedomani, maka itu sama saja jika perda itu mubassir. Padahal, dibuatnya perda ini diperuntukkan untuk menata kawasan pesisir yang kerap dijadikan pengrusakan oleh orang-orang yang memiliki banyak modal.
Mudah-mudahan, perda RTRW ini bisa berjalan dengan mulus tanpa ada hambatan lagi dalam melakukan penegakan di kawasan pesisir. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar