Kamis, 17 September 2015

Mempertahankan Cagar Budaya



Perkembangan suatu daerah atau kota biasanya diukur dengan kemajuan pembangunan yang ada. Seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat atau pencakar langit termasuk hotel-hotel berbintang. Sehingga siapa pun yang memimpin kota tersebut tentunya ingin melihat kotanya maju tak terkecuali dengan rumah-rumah yang mewah. Semua itu menunjukkan adanya kemajuan dalam perkembangan kota termasuk tingkat perekonomian masyarakat.
Sebab biasanya orang menilai suatu daerah jika banyak rumah mewah dan gedung tinggi, sehingga dianggap bahwa daerah tersebut mengalami kemajuan.  Padahal itu bukan satu-satunya tolok ukur majunya suatu daerah karena masih banyak yang lain dan bisa menjadi penilaian bagi orang luar.

Misalnya saja, kota terawat dan bersih sehingga pandangan mata tampak elok dan memiliki daya tarik tersendiri bagi orang yang berkunjung. Bukan hanya itu, tapi dalam suatu daerah atau kota bila banyak bangunan bersejarah yang terawat itu juga menjadi ciri khas kota berkembang. Karena pemimpinnya dianggap mampu mempretahankan cagar budaya yang selama ini masih terkesan disepelekan. Padahal, cagar budaya itu merupakan salah satu asset daerah yang memiliki nilai jual tinggi, karena dianggap bangunan bersejarah.
Pasalnya, bangunan bersejarah itu kerap menjadi bulan-bulanan pembangunan suatu proyek besar sehingga cagar budaya ini terkesan terabaikan bahkan dihancurkan demi untuk membangun gedung yang baru. Padahal, itu bukan suatu ukuran yang pasti, tapi dari sekian banyak ukuran. Karena bangunan yang sekarang meski itu menjulang tinggi tapi nilainya tidak sebanding dengan bangunan tua yang masih zaman penjajahan Belanda.
Penulis berdisukusi dengan salah seorang Dosen Unhas yang tidak asing namanya bagi kalangan perguruan tinggi yaitu Alwi Rahman berpendapat bahwa bagunan tua atau cagar budaya itu sama saja kalau memperpanjang umur manusia. Jika tidak ada bangunan lama itu berarti apa yang bisa diingat pada masa lalu. Memang diakui bahwa cagar budaya ini sangat penting untuk dipertahankan, tapi sekarang ini kadang menjadi obyek “penggusuran” untuk dibanguni bangungan baru.
Seperti halnya dengan bangunan Belanda yang terletak di Jl. Nusantara Ujung Pandang dan kini bernama Makassar. Bangunan tersebut dipakai oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai kantor pusat. Saat itu penulis sempat berdiskusi dengan salah seorang teman yang cukup banyak tahu tentang bangunan itu. Menurutnya bangunan Belanda yang ada di Jalan Nusantara itu tidak seharusnya digusur demi untuk membangun areal peti kemas.
Waktu itu, Walikotanya Balik B. Masyri, meski bangunan sudah sepakat untuk tidak dirubuhkan karena memiliki nilai sejarah. Bahkan surat dari Kerajaan Belanda untuk meminta agar bangunan tersebut tetap dipertahankan keberadaannya, karena memiliki nilai sejarah yang tinggi. Bisa dibayangkan kalau dilihat sepintas perasaan kita seakan berada di Nederland karena arsitekturnya 100 persen Belanda.
Wajarlah kalau kerajaan Belanda tetap ingin mempertahankan itu. Sekarang ini bangunan tersebut sudah tidak ada lagi, melainkan areal peti kemas yang terdapat di dalamnya. Padahal cagar budaya itu sangat penting untuk mempertahankannya apalagi sudah ada aturan yang mengatur bangunan tua untuk tetap dipertahankan. Tapi karena kekuasaan dan keuangan yang berkuasa apapun aturannya tetap dilabrak meski itu sangat disayangkan, tapi itulah yang terjadi.
Padahal kalau bangunan tua itu tetap dipertahankan sampai sekarang, maka itu menjadi obyek wisata yang sangat disukai oleh turis asing apalagi dekat dengan Pelabuhan Makassar. Banyaknya turis asing yang datang, tapi tidak melihat adanya bangunan bersejarah sehingga Kota Makassar ini dianggap kurang menarik untuk dikunjungi. Padahal Jl. Nusantara dengan bangunan Belanda masih sangat strategis untuk menggaet wisatawan manca negara.
Memang diakui bahwa sekarang sudah beberapa kapal pesiar yang berlabuh di Pelabuhan Makassar, tapi obyek wisata sangat kurang untuk dikunjungi. Para turis ini hanya mengunjungi obyek wisata atau bangunan-bangun tua yang memiliki nilai sejarah, sementara kalau bangunan sekarang seperti Mall itu tidak ada nilainya.
Tapi karena pemerintah kita tetap menomor satukan pembangunan fisik dan merubuhkan bangunan tua yang bernilai sejarah, tepatlah jika wisatawan beranggapan bahwa Makassar itu “gersang” dari obyek wisata yang menarik. Buktinya, ada turis tapi rata-rata langsung menuju Tana Toraja. Padahal jika bangunan tua itu dirawat dan dipertahankan tentu memiliki nilai jual yang tinggi. Tapi apa lacur semuanya hanya semu. Pembangunan yang ada sekarang semuanya modern, sehingga bangunan tua terkesan diabaikan.
Bisa dibayangkan kalau semua cagar budaya yang ada di Kota Makassar hilang, maka apa yang bisa kita ceritakan atau wariskan kepada anak cucu kita. Termasuk bangunan Belanda itu, sekarang tidak bisa lagi kita menyaksikannya kecuali mendengar ceritanya saja tanpa ada bukti yang nyata.
Memang diakui bahwa pemerintah itu cenderung mengabaikan bangunan tua, padahal sudah ada aturannya. Tapi karena selalu ingin melanggar aturan maka itulah yang terjadi. Siapa yang berani melawan kalau pemerintah yang mau, padahal jabatan itu hanya sementara. Ibarat daki yang melengket pada tubuh kita. Kapan sudah berakhir masa jabatannya itu maka sudah pasti bahwa harus ditinggalkan.
Kalau perlakuan kita membangun bangsa ini, tentunya memiliki cerita tersendiri, namun kalau semasa kita berkuasa hanya merusak dan membongkar melulu tentunya juga memiliki cerita tersendiri. Padahal, jika mempertahankan bangunan bersejarah itu tentunya bisa membawa rezeki dimasa akan datang.
Mudah-mudahan bangunan bersejarah lainnya bisa dipertahankan karena selama ini sudah terjadi eksploitasi besar. Misalnya Karebosi yang sudah diubah fungsinya dan tidak sesuai dengan aslinya. Begitu pula dengan Pantai Losari yang dulunya dikenal dengan kursi terpanjang di dunia. Kini sudah berubah bahkan tidak mencirikan lagi pantai losari yang dikenal sejak dahulu.
Karebosi direvitalisasi hanya karena uang. Memang sepintas pembangunan karebosi sangat bagus tapi itu bukan suatu tujuan utama. Karena nilai sejarahanya yang hilang. Bisa dibanyangkan kalau ada yang ingin bertemu ataukah tersesat, maka patokan atau tandanya adalah Karebosi. Apalagi pesan orang tua dulu bahwa suatu saat Karebosi menjadi tempat pemilihan bagi warga yang didalamnya terdapat 7 (tujuh) orang yang sama tanpa ada perbedaan, sehingga siapa saja yang salah pilih pasti akan ikut kepada pilihannya. Tapi sekarang Karebosi sudah menjadi tempat kuliner yang tujuan utamanya berdagang atau makan-makan.
Jangan heran jika wisatawan asing jarang yang ingin berkunjung ke Karebosi karena di negaranya saja sudah banyak bangunan seperti itu. Mereka hanya mencari keaslian daerah, termasuk Pantai Losari yang selama ini ingin mereka saksikan dari dekat. Tapi semuanya sudah berubah seiring dengan pembangunan yang digencarkan oleh pemerintah.
Semoga cagar budaya ini tidak ada lagi yang terkoyak-koyak akibat ulah pemerintah atau perusahaan yang berkantong tebal. Semoga cagar budaya bisa dipertahankan keberadaannya khususnya yang berada di Koata Makassar. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar