Banyaknya jumlah kendaraan merupakan
salah satu tolak ukur bahwa kota itu sudah berkembang. Pasalnya, meningkatnya
jumlah kendaraan setiap bulannya
menjadikan Kota Metropolitan ini sulit mencari tempat parkir, apalagi
toko dan hotel serta rumah makan tidak cukup tersedia tempat/lahan parkirnya, sehingga
membuat juru parkir harus kerja keras untuk mengatur kendaraan yang ingin
menikmati perparkiran.
Pemandangan perparkiran di Kota Makassar
ini yang disebut-sebut sebagai “Kota Dunia”, tapi masalah parkir masih sangat
sulit dihindari. Padahal, jika memang mau ditata atau diperhatikan masalah parkir
ini tentunya pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar sudah mengatur semua itu.
Misalnya, semua hotel atau rumah makan harus memiliki tempat parkir baru bisa
diberikan izin operasional, sehingga tidak ada lagi mobil terparkir di badan
jalan yang mengganggu arus lalulintas.
Seperti di Jalan Datu Museng dan sekitarnya,
dimana beberapa tempat terdapat Rumah Makan (RM) Istana Laut, RM Lae-Lae dan lainnya. Kesemuanya itu tidak disiapkan
atau tidak memiliki tempat parkir khusus, sehingga pinggir jalan menjadi
sasarannya. Jadi wajar saja kalau kendaraan para pengunjung ini memarkir
kendaraannya di pinggir jalan dan bahkan mengambil sebagian badan jalan,
sementara jalan tersebut tergolong sempit yang akhirnya menjadi macet.
Tidak heran jika pada jam-jam tertentu atau
waktu makan siang dan makan malam jalan tersebut selalu macet. Sementara
pemilik rumah makan tidak memperhatikan semua itu, tapi hanya mencari
keuntungan diatas penderiaan orang lain yang melewati jalan tersebut. padahal,
sebagai tuan rumah yang baik tentunya harus menyiapkan tempat parkir tamunya,
sebab buat apa orang berkunjung jika susah memarkir kendaraannya.
Nah, jika Pemkot Makassar peduli dengan
kemacetan kota yang disebabkna oleh ulah para pengusaha ini, maka pemberian izin
pengusaha rumah makan dan hotel ini harus ditinjau ulang dan diberikan sangksi
agar terlebih dahulu disiapkan tempat parkir baru diberikan izin usaha. Hal itu
diperuntukkan demi kepentingan orang banyak agar kemacetan bisa terurai
sehingga lalulintas tidak terhalang dan masyarakat dapat menikmati perjalanan
dengan santai dan nyaman. Akan tapi kalau hanya persoalan lahan parkir bagi
pemilik rumah makan tidak mampu diatur, maka bagaimana Kota Makassar bisa
menjadi Kota Dunia ? banyak hal yang harus segera diantisipasi sehingga ke
depan dapat lebih baik lagi.
Memang diakui bahwa untuk mendirikan
rumah makan tanpa lahan parkir maka itu memang susah, tapi kalau benar-benar
ingin berusaha dan kerja secara profesional maka pemilik rumah makan atau hotel
dan restoran harus diperhatikan semua. Jangan hanya profitnya yang menjadi pilihan
atau prioritas utama sehingga keamanan kendaraan para pengunjung kurang
diperhatikan. Padahal semua pengunjung itu adalah tamu yang harus diberikan
pelayanan yang bagus agar selalu berkesan. Bahkan bisa menjadi “iklan” berjalan
manakala pelayanannya atau tempat parkirnya terjamin alias aman.
Olehnya itu, semua pengusaha yang ada di
Kota Makassar ini baik hotel, restoran dan rumah makan sebaiknya
membuat/menyediakan lahan parkir. Tanpa ada penyediaan tersebut maka Pemkot
tidak perlu mengeluarkan izin usahanya, karena menganggu kenyamanan orang lain.
Bisa dibayangkan kalau ada rumah makan dan pengunjung memarkir kendaraannya di
badan jalan sehingga pengendara lainnya terhalang hanya karena tidak tersedianya
lahan parkir, maka itu bisa menunggu berjam-jam sampai akhirnya terbebas dari
kemacetan.
Bukan hanya itu, tapi juga para juru
parkir (jukir) ini tidak ada kupon (karcis) parkir yang resmi dari PD Parkir
Makassar Raya sebagai pengelolah perparkiran di Kota Makassar. Memang diakui
bahwa banyak masyarakat yang memberikan uang parkir sebesar Rp 2000 untuk kendaraan
roda empat (mobil) dan Rp 1000 untuk roda dua (motor). Tapi kenyataan di
lapangan memang ada karcis parkir dikantongi tapi tidak diberikan kepada
pengendara, sehingga terkesan bahwa uang parkir ini yang seharusnya masuk ke
kas pemkot, tapi malah masuk kantong si tukang parker itu sendiri. Bahkan di
Anjungan Pantai Losari parkir ini bukan lagi namanya parkir tapi terkesan
sebagai “pemerasan” lantaran dimintai lebih dari parkir yang sebenarnya.
Anehnya lagi, kalau tidak diberikan dengan sejumlah uang maka tidak segan-segan
marah kepada pengendara dan tidak sedikit terjadi adu mulut yang berakhir
dengan perkelahian. Nah, kalau ini tidak diatur dengan jelas maka tidak heran
jika uang parkir lenyap begitu saja.
Padahal kalau dipikir jumlah penduduk
Kota Makassar kurang lebih 1 (satu) juta orang dan kita mengambil sedikit saja yang
menggunakan parkir yaitu 10 ribu orang parkir setiap hari dengan mengeluarkan
uang sebesar Rp 2000/ satu kali parkir. Berarti Rp 2000 x 10.000 = 20.000.000,-
(dua puluh juta)/hari x 30 hari = 600.000.000,- (enam ratus juta)/ bulan, maka pemasukan dari perparkirn cukup besar
jika dikelolah dengan baik dan profesional, sehingga Pendapatan Asli Daerah
(PAD) bisa berkembang. Dan itu baru dari sisi perparkiran. Belum lagi dari pendapatan
lainnya yang bisa memberikan pemasukan yang tidak sedikit jumlahnya.
Dengan demikian, maka perparkiran ini
harus digenjot guna menopang pemasukan kas daerah, sehingga pembangunan bisa
berjalan dengan baik agar Kota Dunia ini benar-benar terwujud dimasa akan
datang.
Mudah-mudahan pemkot bisa mengevaluasi
kembali perizinan bagi seluruh hotel, restoran dan rumah makan yang ada di
Makassar dan tidak disediakan tempat parkir untuk tidak diberikan atau diperpanjang
izin usahanya. Tidak boleh ada “kongkalikong” antara pengusaha dan pemkot. Yang
jelas aturan yang ada harus diterapkan tanpa pilih merek sehingga badan-badan
jalan ini bisa terbebas dari kemacetan. Semoga persoalan perizinan ini bisa
dijalankan dengan baik dan benar tanpa adanya unsur “manipulasi” didalamnya
sehingga penentu kebijakan langsung memberikannya. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar