Kamis, 17 September 2015

Dilema Perparkiran Kota Makassar



Banyaknya jumlah kendaraan merupakan salah satu tolak ukur bahwa kota itu sudah berkembang. Pasalnya, meningkatnya jumlah kendaraan setiap bulannya  menjadikan Kota Metropolitan ini sulit mencari tempat parkir, apalagi toko dan hotel serta rumah makan tidak cukup tersedia tempat/lahan parkirnya, sehingga membuat juru parkir harus kerja keras untuk mengatur kendaraan yang ingin menikmati perparkiran.

Pemandangan perparkiran di Kota Makassar ini yang disebut-sebut sebagai “Kota Dunia”, tapi masalah parkir masih sangat sulit dihindari. Padahal, jika memang mau ditata atau diperhatikan masalah parkir ini tentunya pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar sudah mengatur semua itu. Misalnya, semua hotel atau rumah makan harus memiliki tempat parkir baru bisa diberikan izin operasional, sehingga tidak ada lagi mobil terparkir di badan jalan yang mengganggu arus lalulintas.
Seperti di Jalan Datu Museng dan sekitarnya, dimana beberapa tempat terdapat Rumah Makan (RM) Istana Laut,  RM Lae-Lae dan lainnya. Kesemuanya itu tidak disiapkan atau tidak memiliki tempat parkir khusus, sehingga pinggir jalan menjadi sasarannya. Jadi wajar saja kalau kendaraan para pengunjung ini memarkir kendaraannya di pinggir jalan dan bahkan mengambil sebagian badan jalan, sementara jalan tersebut tergolong sempit yang akhirnya menjadi macet.
 Tidak heran jika pada jam-jam tertentu atau waktu makan siang dan makan malam jalan tersebut selalu macet. Sementara pemilik rumah makan tidak memperhatikan semua itu, tapi hanya mencari keuntungan diatas penderiaan orang lain yang melewati jalan tersebut. padahal, sebagai tuan rumah yang baik tentunya harus menyiapkan tempat parkir tamunya, sebab buat apa orang berkunjung jika susah memarkir kendaraannya.
Nah, jika Pemkot Makassar peduli dengan kemacetan kota yang disebabkna oleh ulah para pengusaha ini, maka pemberian izin pengusaha rumah makan dan hotel ini harus ditinjau ulang dan diberikan sangksi agar terlebih dahulu disiapkan tempat parkir baru diberikan izin usaha. Hal itu diperuntukkan demi kepentingan orang banyak agar kemacetan bisa terurai sehingga lalulintas tidak terhalang dan masyarakat dapat menikmati perjalanan dengan santai dan nyaman. Akan tapi kalau hanya persoalan lahan parkir bagi pemilik rumah makan tidak mampu diatur, maka bagaimana Kota Makassar bisa menjadi Kota Dunia ? banyak hal yang harus segera diantisipasi sehingga ke depan dapat lebih baik lagi.
Memang diakui bahwa untuk mendirikan rumah makan tanpa lahan parkir maka itu memang susah, tapi kalau benar-benar ingin berusaha dan kerja secara profesional maka pemilik rumah makan atau hotel dan restoran harus diperhatikan semua. Jangan hanya profitnya yang menjadi pilihan atau prioritas utama sehingga keamanan kendaraan para pengunjung kurang diperhatikan. Padahal semua pengunjung itu adalah tamu yang harus diberikan pelayanan yang bagus agar selalu berkesan. Bahkan bisa menjadi “iklan” berjalan manakala pelayanannya atau tempat parkirnya terjamin alias aman.
Olehnya itu, semua pengusaha yang ada di Kota Makassar ini baik hotel, restoran dan rumah makan sebaiknya membuat/menyediakan lahan parkir. Tanpa ada penyediaan tersebut maka Pemkot tidak perlu mengeluarkan izin usahanya, karena menganggu kenyamanan orang lain. Bisa dibayangkan kalau ada rumah makan dan pengunjung memarkir kendaraannya di badan jalan sehingga pengendara lainnya terhalang hanya karena tidak tersedianya lahan parkir, maka itu bisa menunggu berjam-jam sampai akhirnya terbebas dari kemacetan.
Bukan hanya itu, tapi juga para juru parkir (jukir) ini tidak ada kupon (karcis) parkir yang resmi dari PD Parkir Makassar Raya sebagai pengelolah perparkiran di Kota Makassar. Memang diakui bahwa banyak masyarakat yang memberikan uang parkir sebesar Rp 2000 untuk kendaraan roda empat (mobil) dan Rp 1000 untuk roda dua (motor). Tapi kenyataan di lapangan memang ada karcis parkir dikantongi tapi tidak diberikan kepada pengendara, sehingga terkesan bahwa uang parkir ini yang seharusnya masuk ke kas pemkot, tapi malah masuk kantong si tukang parker itu sendiri. Bahkan di Anjungan Pantai Losari parkir ini bukan lagi namanya parkir tapi terkesan sebagai “pemerasan” lantaran dimintai lebih dari parkir yang sebenarnya. Anehnya lagi, kalau tidak diberikan dengan sejumlah uang maka tidak segan-segan marah kepada pengendara dan tidak sedikit terjadi adu mulut yang berakhir dengan perkelahian. Nah, kalau ini tidak diatur dengan jelas maka tidak heran jika uang parkir lenyap begitu saja.
Padahal kalau dipikir jumlah penduduk Kota Makassar kurang lebih 1 (satu) juta orang dan kita mengambil sedikit saja yang menggunakan parkir yaitu 10 ribu orang parkir setiap hari dengan mengeluarkan uang sebesar Rp 2000/ satu kali parkir. Berarti Rp 2000 x 10.000 = 20.000.000,- (dua puluh juta)/hari x 30 hari = 600.000.000,- (enam ratus juta)/ bulan,  maka pemasukan dari perparkirn cukup besar jika dikelolah dengan baik dan profesional, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa berkembang. Dan itu baru dari sisi perparkiran. Belum lagi dari pendapatan lainnya yang bisa memberikan pemasukan yang tidak sedikit jumlahnya.
Dengan demikian, maka perparkiran ini harus digenjot guna menopang pemasukan kas daerah, sehingga pembangunan bisa berjalan dengan baik agar Kota Dunia ini benar-benar terwujud dimasa akan datang.
Mudah-mudahan pemkot bisa mengevaluasi kembali perizinan bagi seluruh hotel, restoran dan rumah makan yang ada di Makassar dan tidak disediakan tempat parkir untuk tidak diberikan atau diperpanjang izin usahanya. Tidak boleh ada “kongkalikong” antara pengusaha dan pemkot. Yang jelas aturan yang ada harus diterapkan tanpa pilih merek sehingga badan-badan jalan ini bisa terbebas dari kemacetan. Semoga persoalan perizinan ini bisa dijalankan dengan baik dan benar tanpa adanya unsur “manipulasi” didalamnya sehingga penentu kebijakan langsung memberikannya. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar