Indonesia dikelilingi luas laut sekitar
70 persen dari luas daratan, sehingga dikenal sebagai negara maritim yang
didalamnya memiliki berbagai sumber daya alam yang dapat dikelola demi untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat, terutama bagi
masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir. Bahkan boleh dibilang masyarakat
kita ini sebagian besar berada pada wilayah pesisir yang berpenghasilan
biasa-biasa saja dan kehidupannya masih tergolong miskin bila dibandingkan
kehidupan yang ada di perkotaan.
Dengan gelar masyarakat “miskin” ini,
maka tentunya membutuhkan sentuhan dari penentu kebijakan untuk meningkatkan
taraf hidupnya dari berbagai sumber daya
alam yang ada. Sehingga peningkatan itu harus didukung oleh pemerintah
karena tanpa adanya upaya untuk menghapus kemiskinan di negeri yang kaya akan
sumber daya alam ini, maka hal tersebut tidaklah bisa hilang. Padahal kita
sendiri yang selalu menggembar gemborkan tentang penghapusan kemiskinan di
tanah air. Namun, jika hal tersebut tidak direalisasikan maka sama saja kalau hanya
suatu retorika belaka yang tidak berujung.
Padahal,
kalau dipikir sumber daya alam di Indonesia cukup melimpah, tapi hanya
orang-orang tertentu saja yang menikamtinya. Istilahnya, orang miskin semakin
miskin dan si kaya makin kaya. Sehingga mau atau tidak tetap tercipta adanya
kesenjangan walapun itu secara tidak langsung, tapi itulah yang terjadi
dilapangan terutama bagi masyarakat yang berdiam di daerah pesisir.
Salah
satu jalan yang dapat dijadikan sebagai pendapatan selain menangkap ikan di
laut atau melakukan budidaya di tambak adalah melakukan pembuatan garam yang
tidak kalah baiknya dengan usaha lain di bidang perikanan. Pasalnya, pergaraman
ini masih menjanjikan atau memiliki prospek masa depan yang cerah sebab
kebutuhan akan garam di negeri ini tetap meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk dan banyaknya warung makan dan restoran terbuka, termasuk
industry. Semenetara produksi garam dalam negeri belum bisa menopang kebutuhan
tersebut. Wajarlah jika pemerintah Indonesia tetap melakukan impor garam.
Padahal, kita hidup di “lumbung garam” tapi
tetap impor garam.
Hal seperti
ini harus dipikirkan baik-baik agar ke depan impor garam ini tidak terjadi
lagi. Padahal, kalau dilihat potensi daerah yang ada di Indonesai dan khususnya
di Sulsel itu sangat besar dan bisa dikelolah dengan baik, sehingga prospek
pembuatan garam ini makin terbuka lebar. Apalagi, pengusaha atau perusahaan
yang membutuhkan garam juga makin banyak dan jumlahnya besar. Hal ini menjadi
catatan tersendiri bagi penentu kebijakan dalam hal peningkatan garam di daerah
ini.
Berdasarkan
data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulsel bahwa pemerintah
Indonesia mengimpor garam sebanyak 1,6 juta ton per tahun, sementara kebutuhan
garam sebanyak 2,8 juta ton per tahun. Sedangkan produksi garam Indonesia baru
mencapai 1,2 juta ton per tahun dan khusus Sulsel hanya memproduksi garam
sebanyak 37.000 ton per tahun.
Khsusus di Sulsel dimana Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Sulsel telah melakukan satu program yang dapat dilakukan
oleh masyrakat dengan nama program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR).
Program tersebut telah dilaksanakan di Sulawesi Selatan tahun 2011 pada umumnya
berjalan cukup baik, hal ini terlihat dari hasil produksi garam yang dihasilkan
di lokasi pelaksanaan PUGAR di Sulsel (Kabuaten Jeneponto, Kab. Takalar dan Kab
Pangkep). Yang memiliki luas lahan
produksi 1.310 Ha mengalami peningkatan sebesar 22,16 % yaitu tahun 2010
produksi sebesar 34.057 ton meningkat sebesar 153.717,8 ton pada tahun 2011.
Kabupaten Jeneponto mengalami peningkatan sebesar 22,57 % , dari produksi
25.427 ton meningkat sebesar 112.670 ton. Kabupaten Takalar mengalami
peningkatan sebesar 14,12 %, dari produksi 3.595 ton meningkat sebesar 25.469
ton. Kabupaten Pangkep mengalami peningkatan sebsar 32,32 % dari produski
sebesar 5.035 ton meningkat sebsar 15.579 ton. (DKP Sulsel 2015)
Akan tetapi dengana adanya peningkatan
produksi garam tersebut tidak diiringi dengan peningkatan kualitas garam yang
sesuai dengan peruntukannya, yaitu standar kualitas garam untuk konsumsi dan
standar kualitas garam industry (kandungan NaCl>_90%), hal ini dikarenakan
pengelolaan tambak garam masih menerapkan sistem kristalisasi (tradisional)
belum adanya teknologi tepat guna yang diterapkan pada pengelolaan tambak garam
yang dapat meningkatkan kualitas produksi garam yang tinggi (kw.1)
Nah, kalau dilihat potensi lahan yang
tersdia di tiga kabupaten (Jeneponto, Takalar dan Pangkep) cukup besar
kurang lebih sebesar 1.869 ha, yang berpotensi dalam peningkatan
produksi garam di Sulawesi Selatan. Meski kita tahu bahwa tidak semua petani
garam di daerah menghasilkan garam yang berkualitas tinggi, sehingga perlu
adanya pendampingan guna memenuhi standar yang dibutuhkan oleh industry sebagai
pemasok garam terbesar. Salah satu permasalahan yang timbul saat ini adalah;
kualitas produksi garam yang dihasilkan belum memenuhi kualitas standar (kw.1)
dengan kandungan NaCl > 90%.
Dari diskusi penulis dengan Kepala
Bidang Kelautan, Pesisir dan Perikanan Tangkap dimana Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Sulawesi Selatan telah mendukung pelaksanaan program Pugar menuju
swasembada garam nasional tahun 2012 dan saat ini mendukung penuh dalam rangka
fasilitasi program Pugar menyongsong swasembada garam industry tahun 2015.
Olehnya itu, program swasembada garam
ini perlu disupport agar pemerintah tidak lagi melakukan impor garam dari luar
negeri. Apalagi potensi garam di Indonesia sangat besar terutama di Sulsel yang
memiliki lahan yang cukup banyak untuk dijadikan sebagai sentra produksi garam
untuk menopang garam nasional. Sisa bagaimana sentuhan ke petani garam untuk
dapat bersaing dengan garam impor tersebut minimal menyamai mutu dan
kualitasnya agar garam rakyat ini bisa bersaing di pasaran.
Mudaha-mudahan produksi garam ditanah
air menimgkat seiring dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki petani garam agar
hasilnya dapat bersaing dengan garam dari luar negeri. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar