Minggu, 26 November 2017

Prospek Budidaya Jabon di Sulsel



Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu daerah yang ada di Indonesia memiliki tanah yang subur, sehingga apa saja yang ditanam akan tumbuh dengan baik. Wajar saja jika kesuburan tanah ini bisa dimanfaatkan agar masyarakat dapat menikmati hasilnya. Sebab selama ini banyak tanah masyarakat yang kurang dimanfaatkan sehingga terkesan mubassir atau dikenal dengan lahan “tidur”. Padahal, kalau dikelola dengan baik hal itu bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi dan nilai jual tinggi sehingga masyarakat dapat sejahtera.

Salah satunya yang memiliki prospek dan bernilai jual tinggi adalah kayu jabon. Jabon  (Anthocephalus cadamba) adalah sebuah pohon yang tumbuh di wilayah Asia dan khususnya Asia Selatan hingga Papua Nugini. Di Indonesia, pohon ini juga memiliki nama lebih dari satu sehingga dikenal sebagai jabun, kelampayan, empayang, atau worotua. Meski diketahui bahwa pohon ini sangat dikeramatkan oleh umat Hindu di India. Tapi di tanah air kayu ini memiliki prospek yang sangat bagus, sehingga tidak ada salahnya jika masyarakat dapat mencobanya.
Jabon  adalah Tanaman Kayu Keras yang cepat tumbuh, Tanaman Jabon termasuk famili Rubiaceae ini tumbuh baik pada ketinggian 0 – 1000 meter dari permukaan laut, pada jenis tanah lempung, podsolik cokelat dan aluvial lembab yang umumnya terdapat di sepanjang sungai yang ber-aerasi baik. Jabon adalah jenis pohon cahaya (light-demander) yang cepat tumbuh. Pada umur 3 tahun tingginya dapat mencapai 9 M dengan diameter (garis tengah lingkar batang) 11 cm. Pada usia antara 5 dan 6 tahun lingkar batangnya bisa mencapai 150 cm (diameter 40 cm sampai 50 cm), diameter pertumbuhan antara 5 cm sampai 10 cm/tahun. Pohon Jabon yang tumbuh dihutan pernah ditemukan mencapai tinggi 45 M dengan diameter lebih dari 100 cm. (https://id.wikipedia.org/wiki/Jabon)
Pohon ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai investasi jangka menengah. Pasalnya, jabon ini mudah tumbuh di lahan terbuka, tanah liat/lempung padsolik cokelat, tanah berbatu sehingga sangat tepat untuk dijadikan sebagai tanaman penghijauan di lahan kritis. Bahkan pohon ini dikenal tidak rewel lantaran tidak membutuhkan perawatan khusus dari pemilik lahan karena ia tahan terhadap hama dan penyakit. Pohon tersebut dikenal memiliki daun yang lebar dan hijau, bahkan sanggup menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen lebih banyak. Bukan hanya itu, jabon ini sangat disukai oleh industri karena memang membutuhkan seperti ini sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai penghasil atau perbaikan ekonomi kerakyatan.
Salah satu kelebihannya adalah bisa tumbuh kembali setelah ditebang/ dipanen untuk dinikmati hasil panen yang ke dua. Jadi masyarakat dapat memanfaatkan lahan yang ada atau yang tidak terpakai, karena selain pemeliharannya sangat mudah juga tidak menyita waktu dalam melakukan pemeliharaan karena tumbuh dengan sendirinya sehingga sangat cocok dalam budidaya. Apalagi banyak lahan tidur di daerah pedesaan yang tidak termanfaatkan, sehingga dengan adanya kayu ini maka masyarakat dapat memanfaatkan lahannya yang tersedia.
Memang diakui bahwa keberadaan kayu jabon ini khususnya di Sulsel belum terlalu familiar sehingga masyarakat banyak yang belum tahu. Padahal kalau itu digeluti tentunya bisa memberikan hasil yang lumayan besar. Sehingga ini harus diusahakan untuk meminimalisir tanah atau lahan yang terbengkalai (tanah tandus) agar bisa dimanfaatkan.
Sesuai dengan diskusi kecil dengan teman (Muh. Tamrin dan Muh. Ramli) keduanya adalah staf Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel bahwa masyarakat bisa menanam pohon tersebut guna menambah penghasilan keluarga. Walaupun diakui bahwa sekarang ini pohon tersebut belum banyak diketahui oleh masyarakat di daerah ini, sehingga untuk mengajaknya “berinvestasi” masih belum percaya apalagi belum pernah melihat hasil secara langsung. Tapi kalau sudah ada yang berhasil biasanya banyak ikut sehingga untuk merubah pola pikir masyarakat yang ada terlebih dulu harus memberikan contoh atau hasil.
Kalau dihitung misalnya kita punya lahan seluas 1 (satu)  Ha bisa ditanami kayu jabon sebanyak 600 pohon dengan ukuran 2 x 3. Artinya 2 baris ke depan dan 3 baris berderet. Jadinya berjumlah 600 pohon per hektar. Sementara satu pohon biasanya menghasilkan kayu sebanyak 3 (tiga) kubik. Harga per kubiknya sebesar Rp 1.200.000 x 3 = Rp 3.600.000,- per pohon. Jadi Rp 3.600.000 x 600 pohon = Rp 2.260.000.000,-  miliar per satu kali panen.
Bisa dibayangkan kalau petani kita yang memiliki lahan seluas 1 ha menghasilkan Rp 2.260.000.000,- hanya dengan 5 – 6 tahun masa pemeliharaan. Memang diakui bahwa waktu sepanjang itu tergolong lama, namun jika tetap ada pekerjaaan lain, maka waktu selama itu tidaklah menjadi beban atau terasa lama, karena bukan itu yang diurusi. Mereka tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya perlakuan khusus sehingga ini sangat tepat untuk mensiasati waktu yang ada.
Olehnya itu, kalau memang itu digalakkan maka yakin dan percaya bahwa selain alam kita terjaga juga dapat mengahsilkan uang banyak tanpa kerja keras. Modal pun tidak seberapa, sehingga ini cukup efektif dalam melakukan budidaya kayu jabon. Kita juga tidak perlu berfikir lahan, karena biar tidak ada lahan seluas itu, bisa juga kita memanfaatkan lahan yang tersedia di samping rumah. Sebab masyarakat kita khususnya yang ada di kampung banyak memiliki pekarangan (halaman) yang tidak terpakai dan tinggal begitu saja, sehingga ini bisa ditanami apakah 10 pohon atau berapa saja yang mampu dimuat.
Dengan demikian, maka pohon jabon yang menjadi sumber pendapatan masyarakat di daerah ini yang memiliki nilai jual tinggi bisa didorong atau disosialisasikan ke daerah-daerah agar masyarakat dapat memahaminya, sehingga mereka ada kemauan untuk melakukan budidaya tersebut. Mudah-mudahan ke depan bisa memanfaatkan lahan yang ada agar tidak menjadi lahan tidur dan dapat menghasilakn sesuatu untuk perbaikan ekonomi. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar