Minggu, 26 November 2017

Penanganan Illegal Fishing, Perlu Perbaikan !!



Belakangan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) gencar melakukan penanganan tentang illegal fishing. Hal itu terbukti dengan banyaknya kapal-kapal pencuri ikan yang memasuki wilayah perairan Indonesia ditangkap oleh petugas. Untuk itu, perlu di dukung atas tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh orang nomor satu di KKP ini.
Namun, dari berbagai penangkapan kapal ikan yang bertandang di perairan Indonesia itu tidak sedikit yang melakukan “perlawan”. Meski aparat tetap berupaya melakukan pengawasan atau penanganan kapal pencuri ikan, tapi toh mereka tetap kecolongan. Buktinya sebanyak 9 (sembilan) kapal pencuri ikan asal Cina melarikan diri.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti geram karena 9 kapal pencuri ikan yang ditahan di Pelabuhan Timika, Papua, dibawa kabur 39 anak buah kapal (ABK) asal China. Menurutnya, hal tersebut merupakan buah kelalaian aparat keamanan yang menjaga 9 kapal tersebut. Selain itu, kejadian tersebut juga dianggap sebagai pelanggaran serius China atas kedaulatan Indonesia. "Kita akui ini keteledoran aparat kita yang dalam hal ini kurang memberi perhatian. Apa yang dilakukan ABK Tiongkok sangat tidak menghormati negara kita," ujar Susi saat konferensi pers di kantornya, Jalan Ridwan Rais, Jakarta, Senin (11/1/2016). (http://www.posmetro.info )
Olehnya itu, penanganan kapal tangkapan ini perlu diseriusi terutama penjagaannya sebab kalau hal sekecil ini terjadi berarti memang negara ini dianggap tidak memiliki kepedulian terhadap apa yang mereka lakukan. Meski diakui bahwa menteri kelautan dan perikanan tetap kukuh dalam menangkap kapal-kapal pencuri ikan tapi kalau penanganannya tidak maksimal sama saja kalau melakukan pembiaran.
Bisa dibayangkan kalau jumlah kapal sebanyak sembilan, tapi semuanya kabur berarti itu merupakan pukulan berat bagi petugas kita dilapangan. Namun, tetap ada pertanyaan bahwa apakah memang kapal tersebut dijaga ataukah tidak, karena mereka bisa lolos. Ataukah ada kongkalikong dengan petugas penjagaan alias sogokan sehingga tidak ada lagi perhatian untuk menjaganya.
Padahal, kalau memang benar maka itu tidak ada alasan untuk melarikan diri, walaupun tempatnya jauh tetap dapat dijaga. Jangan beranggapan bahwa tempatnya sangat jauh dan jauh dari pos penjagaan, sehingga mereka mudah kabur. Alasan seperti itulah tepat untuk diungkapkan karena kalau memang ada kapal tangkapan tidak perlu ditempatkan jauh dari pelabuhan karena sudah pasti bahwa jalur tersebut sangat mudah untuk meloloskan diri.
Disinilah peran petugas penjagaan agar kapal-kapal yang tertangkap itu sebaiknya ditempatkan pada lokasi atau dekat pelabuhan sehingga mudah untuk mengontrolnya. Hal ini yang harus diperhatikan  ke depan sebab setiap ada tindakan selalu saja ada celah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang akan melarikan diri. Disamping itu, pengurusan surat-surat untuk penenggelaman kapal juga sangat berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama baru selesai.
Padahal, kapal sitaan itu bisa digunakan untuk negara sepanjang kapalnya masih memiliki kondisi yang bagus. Tapi kalau pengurusan surat-suratnya saja memakan waktu berbulan-bulan baru rampung, maka kapal tersebut baru bisa dimusnahkan saat kapalnya juga rusak ditempatnya berlabuh. Semua ini memerlukan pemikiran dan perhatian yang serius pada instansi yang terkait agar memutuskan suatu perkara jangan terlalu lama sehingga barang yang bagus dan bisa digunakan, tapi karena lamanya berada di tempat itu yang akhirnya juga rusak.
Olehnya itu, kebijakan KKP dalam menangkap kapal pencuri ikan ini tetap didukung mengingat hasil yang dicuri orang lain sangat besar. Bisa dibayangkan kalau dalam setahunnya sumber daya ikan kita bisa mencapai miliaran diambil orang sehingga ini menjadi perhatian bagi kita semua.
Data yang diumumkan FAO tahun 2001 menyatakan bahwa negara-negara berkembang berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber daya ikannya akibat dari IUU Fishing. Indonesia pada saat itu memiliki sumber daya ikan hingga sebesar 6,5 juta ton per tahun sehingga perhitungan angka kerugian yang hilang adalah seperempat dari jumlah itu atau sebesar 1,6 juta ton. Jika diasumsikan harga jual ikan di pasar internasional rata-rata 2 dolar AS per kilogram, maka kerugian Indonesia pada saat itu diperkirakan mencapai 3,2 miliar dolar AS atau setara Rp 30 triliun ketika itu. Namun pada saat ini, Ditjen PSDKP KKP melakukan kajian yang menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun dapat dihitung dari hilangnya potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara ilegal dikalikan indeks investasi bidang perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait ketenagakerjaan. (http://www.republika.co.id)
Selain minimnya armada patroli, pencurian ikan di laut Indonesia juga diperparah dengan pemberian izin kepada pemilik kapal asing untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Kapal-kapal asing tersebut berbendera ganda. Ketika mereka menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia, mereka menggunakan bendera Merah Putih. Tetapi bendera akan diganti ketika kembali mengantar hasil tangkapan ikan ke negara asalnya. Penyalahgunaan izin ini diperantarai oleh pengusaha ikan domestik. Diperkirakan sebanyak 700 kapal asing yang melakukan penyalahgunaan izin. Penyalahgunaan izin ini bisa jadi makin besar ketika aparat ikut terlibat secara langsung atau tidak dalam pengurusan surat izin usaha perikanan, penangkapan ikan, dan izin kapal pengangkut ikan. (http://www.kompasiana.com)
Olehnya itu, dari kasus-kasu yang ada itu, maka pihak yang berkompoten sebaiknya melakukan penanganan yang baik agar ke depan tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan.  Mudah-mudahan penangkapan kapal pencuri ikan tetap gencar dan kapalnya bisa dijaga dengan baik agar tidak kecolongan lagi. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar