Senin, 13 November 2017

Perlukah Dibentuk Densus Tipikor?



Banyaknya orang yang ada di tanah air dan berkasus sehingga penegak hukum juga semakin hari semakin gencar melakukan penegakan hukum. Pasalnya, rata-rata yang terkena kasus korupsi adalah pejabat. Padahal pejabat seharusnya dapat memberikan contoh atau diteladani dalam menjalankan tugasnya untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara. Namun apa lacur, berbagai kasus korupsi di Indonesia bukannya berkurang tapi malah bertambah. Padahal kasus korupsi ini tidak seharusnya bertambah karena sudah banyak contoh kasus pejabat yang ditahan akibat korupsi.
Mestinya kasus seperti ini menjadi pembelajaran untuk dipahami dan direnungkan agar tidak ada lagi yang berbuat seperti itu, terutama bagi pejabat sebut saja bupati dan walikota. Belum lagi instansi pemerintah yang kerap menjadi tersangka akibat perbuatannya. Wajar saja jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada pejabat. Memang diakui bahwa kebedaraan KPK di Indonesia menjadi “momok” bagi pelaku atau yang gemar melakukan korupsi atau mencuri uang negara.

Keberadaan KPK ini sering menjadi bahan diskusi bagi instansi lain karena banyaknya kasus yang ditangani. Begitu pula dengan Polri yang dikenal juga memiliki salah satu bidang yang juga melakukan pemberantasan korupsi. Tidak heran jika beberapa waktu lalu ada istilah “cicak” dan “buaya” yang  berseteru karena berbagai kepentingan. Memang KPK menjalankan tugas tidak memilih merek siapa pun yang bersalah dan terbukti langsung digelandang ke tahanan KPK.
Penegakan hukum khususnya yang menangani masalah korupsi ini semakin hari semakin mendesak untuk cepat melakukan proses. Sehingga Polri berkeinginan untuk menambah kekuatan dengan membentuk lembaga baru yaitu Densus Tipikor yang khusus menangani kasus korupsi di tanah air. Perlukah dibentuk Densus Tipikor Polri ? Padahal kita sudah tahu bahwa penegak hukum dalam menangani kasus korupsi itu sudah ada KPK yang memang fokus. Jadi kalau dibentuk penegakan hukum lain tentunya ini bisa tumpang tindih dan semakin memperpanjang jalur koordinasi sesama penegak hukum.
Dilihat dari penjelasan polri dimana anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 2,6 Triliun yang dipimpin oleh polisi berpangkat Irjen atau bintang dua. Sedangkan wilayah dipimpin Komisaris Besar (Kombes) baik tipe A, B dan C. dengan jumlah personil di seluruh Indonesia kurang lebih 3.000 orang. Melihat jumlah anggaran yang diperlukan dalam pembentukan densus tipikor ini besar. Padahal penanganan kasus korupsi sudah ada KPK, sehingga tidak perlu lagi ada instansi lain yang dibentuk untuk mengurusi kasus yang sama. Apakah ini bukan cara untuk menggembosi KPK ?
Sebab keberadaan KPK banyak yang beranggapan sebagai “musuh” dan  harus disingkirkan minimal dilemahkan sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Pasalnya, KPK ini menangkap orang dengan OTT sehingga korbannya tidak bisa mengelak karena terbukti dalam hal penyalahgunaan kekuasaan. Olehnya itu, polri yang mempunyai hubungan dengan KPK kurang “mesra”, meski di depan publik kemesraan itu tetap diperlihatkan dan satu sama lain saling mendukung demi untuk melakukan penegakan hukum di tanah air. Akan tetapi, dibalik itu tentunya tetap ada kejanggalan yang terjadi. Buktinya beberapa pekan polisi yang bertugas di KPK langsung ditarik dengan alasan untuk membentuk densus tipikor untuk fokus menangani kasus korupsi.
Namun, kalau kita cermati lebih dalam pembentukan densus tipikor ini bukan murni untuk menangani kasus korupsi, tapi itu terkesan untuk membagi-bagi jabatan di lingkungan kepolisian lantaran banyaknya perwira yang tidak memiliki jabatan. Jadi kalau densus tipikor ini terbentuk berarti pangkat selepel Kombes itu banyak terserap sehingga peluang untuk menduduki jabatan baru itu terbuka. Di samping itu, mereka mendapatkan tunjangan jabatan yang berarti bahwa negara harus menambah lagi keuangan untuk membiayai  personil densus ini.
Padahal kalau dipikir densus tipikor tidak perlu dibentuk karena instansi yang  menangani kasus korupsi sudah banyak. Apalagi kepolisian juga sudah ada bidang yang memang menangani kasus korupsi. Tinggal bagaimana mengasa atau memantapkan sumber daya manusianya agar mereka bekerja lebih baik lagi. Karena di tubuh kepolisian juga tetap ada kasus yang mestinya tidak perlu terjadi karena mereka adalah penegak hukum yang dianggap bisa memberikan contoh kepada masyarakat. Karena polisi itu adalah pengayom masyarakat sehingga wajar kalau tingkah laku atau perbuatan yang baik harus diperlihatkan agar masyarakat dapat mengakuinya.
Jangan lagi ada kesan bahwa polisi selalu membuat sesuatu yang kurang pantas dilakukan, tapi toh tetap ada oknum polisi yang melakukan perbuatan kurang terpuji. Hal tersebut seharusnya diberantas, bukan lagi malah ingin membentuk suatu “kabinet” dalam mengurus kasus korupsi. Sebab KPK sudah ada ditambah lagi di tubuh kepolisian ada bidang yang menangani persoalan korupsi.
Mudah-mudahan keinginan kepolisisn untuk membentuk densus tipikor dapat dipertimbangkan agar keuangan negara tidak tersedot lagi. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar