Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
(the largest archipelagic country in the world) dengan wilayah laut yang
lebih luas dari pada daratan, sehingga wajar jika banyak yang berminat untuk
mengambil keuntungan dari sumber daya yang tersedia itu. Bukan hanya petani
nelayan yang memakai alat tangkap secara tradisional, tapi juga nelayan yang
sudah menggunakan alat tangkap yang modern.
Namun, belakangan ini pemanfaatan luas
laut Indonesia telah bergeser kepada hal-hal yang jauh lebih tidak terpikirkan
oleh masyarakat umum lainnya. Seperti halnya dengan memanfaatkan pulau tersebut
sebagai “angin” segar dengan adanya kebijakan pemerintah untuk menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim, sehingga pelabuhan antar pulau dan antar
Negara terbuka lebar.
Apalagi
Indonesia memiliki pulau-pulau kecil berada pada posisi terluar sebanyak 92
pulau, sedangkan 67 pulau diantaranya yang
berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulau-pulau kecil
perbatasan, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Australia, India,
Timor Leste, Filipina dan Papua Nugini.
Banyaknya
pulau yang dimiliki Indonesia ini, maka terbuka lebar juga pembangunan pelabuhan
baik yang bertaraf nasional maupun internasional yang menghubungkan akses antar
negara dengan poros maritimnya, sehingga kapal-kapal dari luar negeri bebas
berkeliaran di tanah air. Kebijakan ini
tidak seperti yang dibayangkan pemerintah lantaran sebuah kebijakan itu
tentunya ada hal-hal negatif yang selalu “terselip” dan peluang tersebut dapat
digunakan oleh para pelaku kejahatan baik dalam negeri maupun luar negeri. Akan
tetapi itulah dampak sebuah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
Salah
satunya adalah poros maritim ini bisa dijadikan sebagai akses jalan untuk
melakukan penyelundupan narkoba masuk ke
Indonesia. Pasalnya, jalur laut masih dianggap sebagai jalan yang aman
dibandingkan dengan melalui jalur bandara. Sebab laut masih terkesan penjagaannya
sangat “longgar” sementara Indonesia dianggap sebagai negara dan pasar empuk untuk
peredaran barang haram atau narkoba.
Wajar
saja jika poros maritim ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu
mendapat pengawalan ketat oleh aparat penegak hukum dibidangnya masing-masing.
Sebab Bandar narkoba selalu memanfaatkan celah yang terbuka bagi kebijakan
pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dapat memuluskan keinginannya itu.
Apalagi
jaringan narkoba merupakan jaringan internasional sehingga mau atau tidak
kebijakan Presiden RI Joko Widodo ini harus didukung oleh semua pihak, karena
jangan sampai kebijakan ini menjadi bulan-bulanan para Bandar narkotika untuk
melakukan berbagai aksi di tanah air yang pada akhirnya juga negara harus
menanggung resiko yang luar biasa.
Oleh
karena itu, kebijakan ini harus dikawal
bersama tanpa kecuali sehingga hal-hal yang bisa merusak bangsa ini dapat
terhalau. Jangan sampai kita terlena dengan poros maritim yang serba bebas
dalam melakukan perdagangan antar pulau atau antar Negara tanpa memikirkan sisi
negatifnya sehingga bisa jadi kebablasan dalam menghadapi berbagai produk yang
masuk ke Negara ini. Setidaknya kita harus waspada dalam segala aspek, sebab
biar bagaimana pun jika selalu ada kewaspdaan maka serangan ini tidak terlalu
berbahaya, meski tetap bisa masuk.
Apalagi Indonesia
masih dianggap sebagai lahan empuk untuk penyelundupan narkoba. Wajar saja jika
orang luar memandang poros maritim ini sebagai peluang besar untuk melakukan penyelundupan
di negara ini.
Menurut
Deputi Pemberantasan BNN RI Irjen Pol Benny J. Mamoto bahwa 80 persen narkoba
masuk melalui jalur laut. Sehingga pengamanan laut ini perlu diperketat
mengingat narkoba sangat berbahaya bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil survey penyalahgunaan narkoba oleh
BNN RI berjumlah
3.826.974 orang, dan diantaranya sebanyak 136.671 orang penyalahguna berada di Sulawesi Selatan. Hasil
penelitian 2012, prevalensi penyalahguna narkoba di Sulsel pada
tahun 2011 sebanyak 1,9 % atau setara
dengan 115.056 orang.
Kepala Badan Narkotika Nasional
Komisaris Jenderal Anang Iskandar menyatakan jumlah orang meninggal dunia
akibat penyalahgunaan narkoba mencapai 200 juta per tahun. Angka ini didasarkan
pada World Drug Report 2013 oleh Organisasi Dunia Penanganan Narkoba dan
Kriminal (UNODC). "Pengguna narkoba tercatat sebanyak 315 juta orang pada
usia produktif 15 hingga 64 tahun," kata Anang. (Tempo.co, Juni 2014).
Badan
Narkotika Nasional memperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan
terus meningkat. Tahun 2015, diprediksi angka prevalensi pengguna narkoba
mencapai 5,1 juta orang. “Untuk itu bahaya ini harus dicegah dengan mengubah
paradigma. Sudah saatnya pendekatan hukum perlu diimbangi pendekatan
rehabilitasi. Jika itu mampu dilakukan, mimpi Indonesia negeri bebas narkoba
dapat tercapai, “ jelas Deputi Pencegahan Badan Narkotika Nasional Yappi
Manate. (Facebook.com, Juli 2013))
Oleh
karena itu, petugas selalu berupaya mempersempit ruang lingkup peredaran
narkoba di tanah air dan khususnya di Sulsel, namun mereka tidak pernah
menyerah bahkan berbagai cara dilakukan. Wajar saja jika semakin ketat
penjagaan, maka semakin banyak pula
beredar narkoba dan Sulsel menjadi daerah yang “subur” bagi bandar
narkoba.
Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, jumlah pengguna narkoba di
Sulsel sangat signifikan. Pada 2008 misalnya pengguna narkoba di daerah ini
hanya 103.849. Artinya dalam empat tahun terakhir terjadi lonjakan pengguna
hingga 21.881 orang. Dimana pada tahun 2008 sebanyak 103.849 menjadi 121.773
pada 2010 dan tahun 2011 mencapai 125.730. sedangkan tahun 2012 sebanyak
131.200. Tidak salah jika Sulsel disebut sebagai surga atau tempat yang cukup
aman dan nyaman bagi pengguna dan peredaran narkoba.
Untuk meredam
semua ini, maka kebijakan pemerintah harus dikawal dengan memperketat
pengamanan dan meningkatkan fasilitas khususnya alat deteksi narkoba, sehingga
pelabuhan di Indonesia bisa melakukan deteksi bagi penyelundup barang haram
tersebut. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar