Indonesia memiliki wilayah pesisir cukup
luas sehingga berbagai potensi yang ada di dalamnya menjadi anugerah bagi masyarakat
khususnya yang berdomisili di daerah pesisir. Meski diakui bahwa daerah pesisir
memang dapat menghidupi keluarga bagi nelayan. Wajar saja jika para petani
nelayan ini memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di laut. Seperti halnya
dengan rajungan atau biasa juga disebut kepiting rajungan yang menjadi salah
satu andalan bagi masyarakat.
Rajungan yang mendiami daerah pesisir
menjadi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan uang atau meningkatkan perekonomian
keluarganya dengan hasil jualnya. Saat ini masyarakat yang pekerjaan
sehari-harinya menangkap kepiting dengan menggunakan “rakkang” dan jaring,
sehingga hasil tangkapannya pun tergolong lumayan.
Meski alat tangkapnya cukup sederhana
tapi mereka selalu menjaga kelestarian lingkungannya, demi untuk melakukan keseimbangan
suatu organisme. Penangkapan rajungan ini yang dilakukan para nelayan khususnya
di Sulsel membuat kehidupannya bisa bertahan hidup. Pasalnya, harga jual rajungan
sebesar Rp 45.000,- per kilo gram yang naik antara 7 – 10 ekor/kg. Peluang
bisnis ini menjadi perhatian masyarakat khususnya yang berdomisili di daerah pesisir,
sehingga wajar saja jika rajungan sudah mulai langkah ditemui di
nelayan-nelayan, karena sudah ada pembelinya yang siap menampung lalu ekspor.
Berdasarkan hasil diskusi dengan salah
satu teknisi perusahaan yang bergerak di bidang ekspor kepiting menuturkan
bahwa sekarang ini nelayan yang menggeluti penangkapan kepiting rajungan sudah
menjadi kecintaan tersendiri sebab rata-rata nelayan menangkap kepiting
rajungan dari laut sebanyak 2 – 5 kg/hari /nelayan dengan harga jual Rp
45.000,-/kg.
Sebelum banyaknya perusahaan yang
bergerak dalam bidang ekspor kepiting, ukurannya cukup besar apalagi sudah ada
ketentuan size yang bisa ditangkap. Dulu ukuran kepiting yang bisa ditangkap yaitu
naik antara 3 – 5 ekor/kg dengan harga Rp 20.000,-, tapi sekarang sudah
berkurang dengan ukuran yang besar akibat banyaknya nelayan yang menangkap.
Wajar saja jika perusahaan kepiting
semakin banyak terbuka sehingga ancaman bagi kelestarian organisme ini cukup
serius. Pasalnya, sekarang sudah ada tanda-tanda bahwa hasil tangkapan sekarang
sudah tidak ada yang memiliki berukuran besar, bahkan saat ini beratnya antara
7-10 ekor/kg. sehingga ini menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hidup rajungan.
Untung saja kalau kepiting yang bertelur
tidak ditangkap sehingga bisa berkembang biak. Tapi kalau yang bertelur juga
ikut tertangkap maka itu sudah pasti bahwa ke depan keberadaan rajungan ini bakal sulit lagi didapatkan.
Padahal satu ekor rajungan yang bertelur bisa menghasilkan jutaan bibit meski
tingkat kehidupannya hanya 5 – 10 persen saja.
Olehnya itu, pihak yang terkait diharapkan
segera melakukan pembinaan atau penyuluhan kepada perusahaan yang bergerak
dalam bidang ekspor agar ada kata sepakat antara penjual (nelayan) dan pembeli (perusahaan), sehingga keberadaan
kepiting ini bisa lestari. Jangan selalu memburuh profit demi untuk menghabisi
salah satu organisme dan kekayaan alam yang masih bisa berkembang.
Persoalannya, banyak juga perusahaan
yang “nakal” dalam menjalankan bisnis kepiting ini. Sebab mereka tidak peduli
baik yang kecil maupun yang bertelur mereka semuanya disapu bersih apalagi
isinya dijual sehingga tidak bisa terdeteksi apakah ini kepiting kecil atau
yang sementara bertelur.
Hal inilah yang harus segera disosialisasikan
sebelum adanya istilah kepunahan
rajungan. Jangan sampai ke depan keberadaan rajungan ini hanya sebuah nama,
tanpa bisa lagi didapatkan aslinya sebab sudah habis ditangkap oleh oknum yang
tidak bertanggungjawab.
Memang diakui bahwa melihat harga yang
lumayan itu maka ini menjadi daya tarik bagi nelayan. Bisa dibayangkan kalau
harga kepiting Rp45.000,-/kg x 5 kg/hari = 225.000,/hari dikali 30 hari = Rp
6.750.000,-/nelayan/bulan. Ini merupakan pendapatan yang luar biasa bagi nelayan.
Wajar saja jika nelayan yang menggeluti penangkapan kepiting ini sangat susah
untuk berpaling lagi.
Namun semua itu pasti ada batasnya jika
tidak diantisipasi lebih awal. Sebab lambat laun ukuran kepiting semakin hari
semakin kecil karena belum sempat tumbuh dan berkembang sudah ditangkap lagi,
sehingga perlunya ada upaya penyelamatan dalam hal penangkapan di alam.
Oleh karena itu, pihak yang terkait
segera melakukan upaya untuk mencegah
terjadinya kepunahan. Sebab kapan tidak segera dilakukan upaya itu, maka
kemungkinan besar ke depan rajungan ini hanya tinggal nama tanpa bisa dilihat
lagi kepiting aslinya.
Memang diakui bhawa keberadaan pengusaha
ekspor kepiting rajungan ini tidak bisa dipungkiri sebaba itu sudah merupakan
tuntutan dunia ussaha yang bisa meningkatkan kehidupan bagi keluarganya. Wajar
saja jika pertumbuhan usaha yang bergerak dalam bidang ekspor kepiting hasiul
olahan ini semakin berkembang.
Wajar saja jika para nelayan juga memacu dirinya untuk
melakukan penangkapan baik yang menggunakan alat tangkap sederhana hingga yang
menggunakan alat tangkap modern yang disinyalir dapat merusak lingkungan.
Penangkapan rajungan ini menjadi pilihan bagi masyarakat yang berdomisili di
daerah pesisir lantaran harganya juga selalu mengikuti pangsa pasar.
Oleh karena itu, penentu kebijakaan dan
pengusaha ekpor kepiting segera duduk bersama dalam menentukan kesepakatan
dalam melakukan penangkapan, karena sangat sulit membuktikan mana kepiting yang
kecil, dan mana yang kepiting ukuran
besar sebab semuanya sudah diolah sehingga sangat sulit untuk dideteksi.
Kecuali jika ada batasan-batasan tertentu yang sama-sama dijunjung tinggi tanpa
didasari unsur kebohongan di dalamnya demi untuk menjaga kelestarian rajungan
dimasa datang.
Mudah-mudahan para nelayan dan pengusaha
ini bisa menjaga kelestarian kepiting sehingga terhindar dari kepunahan yang
sewaktu-waktu bisa terjadi jika penangkapan dilakukan terus menerus tanpa
adanya batasan yang ditentukan. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar