Perkembangan suatu daerah atau kota
biasanya diukur dengan kemajuan pembangunan yang ada. Seperti pembangunan
gedung-gedung bertingkat atau pencakar langit termasuk hotel-hotel berbintang.
Sehingga siapa pun yang memimpin kota tersebut tentunya ingin melihat kotanya
maju tak terkecuali dengan rumah-rumah yang mewah. Semua itu menunjukkan adanya
kemajuan dalam perkembangan kota termasuk tingkat perekonomian masyarakat.
Sebab biasanya orang menilai suatu
daerah jika banyak rumah mewah dan gedung tinggi, sehingga dianggap bahwa
daerah tersebut mengalami kemajuan.
Padahal itu bukan satu-satunya tolok ukur majunya suatu daerah karena
masih banyak yang lain dan bisa menjadi penilaian bagi orang luar.
Misalnya saja, kota terawat dan bersih
sehingga pandangan mata tampak elok dan memiliki daya tarik tersendiri bagi
orang yang berkunjung. Bukan hanya itu, tapi dalam suatu daerah atau kota bila
banyak bangunan bersejarah yang terawat itu juga menjadi ciri khas kota
berkembang. Karena pemimpinnya dianggap mampu mempretahankan cagar budaya yang
selama ini masih terkesan disepelekan. Padahal, cagar budaya itu merupakan
salah satu asset daerah yang memiliki nilai jual tinggi, karena dianggap
bangunan bersejarah.
Pasalnya, bangunan bersejarah itu kerap
menjadi bulan-bulanan pembangunan suatu proyek besar sehingga cagar budaya ini
terkesan terabaikan bahkan dihancurkan demi untuk membangun gedung yang baru.
Padahal, itu bukan suatu ukuran yang pasti, tapi dari sekian banyak ukuran.
Karena bangunan yang sekarang meski itu menjulang tinggi tapi nilainya tidak
sebanding dengan bangunan tua yang masih zaman penjajahan Belanda.
Penulis berdisukusi dengan salah seorang
Dosen Unhas yang tidak asing namanya bagi kalangan perguruan tinggi yaitu Alwi
Rahman berpendapat bahwa bagunan tua atau cagar budaya itu sama saja kalau memperpanjang
umur manusia. Jika tidak ada bangunan lama itu berarti apa yang bisa diingat
pada masa lalu. Memang diakui bahwa cagar budaya ini sangat penting untuk
dipertahankan, tapi sekarang ini kadang menjadi obyek “penggusuran” untuk
dibanguni bangungan baru.
Seperti halnya dengan bangunan Belanda
yang terletak di Jl. Nusantara Ujung Pandang dan kini bernama Makassar.
Bangunan tersebut dipakai oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebagai kantor
pusat. Saat itu penulis sempat berdiskusi dengan salah seorang teman yang cukup
banyak tahu tentang bangunan itu. Menurutnya bangunan Belanda yang ada di Jalan
Nusantara itu tidak seharusnya digusur demi untuk membangun areal peti kemas.
Waktu itu, Walikotanya Balik B. Masyri,
meski bangunan sudah sepakat untuk tidak dirubuhkan karena memiliki nilai
sejarah. Bahkan surat dari Kerajaan Belanda untuk meminta agar bangunan tersebut
tetap dipertahankan keberadaannya, karena memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Bisa dibayangkan kalau dilihat sepintas perasaan kita seakan berada di
Nederland karena arsitekturnya 100 persen Belanda.
Wajarlah kalau kerajaan Belanda tetap
ingin mempertahankan itu. Sekarang ini bangunan tersebut sudah tidak ada lagi,
melainkan areal peti kemas yang terdapat di dalamnya. Padahal cagar budaya itu
sangat penting untuk mempertahankannya apalagi sudah ada aturan yang mengatur
bangunan tua untuk tetap dipertahankan. Tapi karena kekuasaan dan keuangan yang
berkuasa apapun aturannya tetap dilabrak meski itu sangat disayangkan, tapi
itulah yang terjadi.
Padahal kalau bangunan tua itu tetap
dipertahankan sampai sekarang, maka itu menjadi obyek wisata yang sangat
disukai oleh turis asing apalagi dekat dengan Pelabuhan Makassar. Banyaknya
turis asing yang datang, tapi tidak melihat adanya bangunan bersejarah sehingga
Kota Makassar ini dianggap kurang menarik untuk dikunjungi. Padahal Jl.
Nusantara dengan bangunan Belanda masih sangat strategis untuk menggaet wisatawan
manca negara.
Memang diakui bahwa sekarang sudah
beberapa kapal pesiar yang berlabuh di Pelabuhan Makassar, tapi obyek wisata
sangat kurang untuk dikunjungi. Para turis ini hanya mengunjungi obyek wisata
atau bangunan-bangun tua yang memiliki nilai sejarah, sementara kalau bangunan
sekarang seperti Mall itu tidak ada nilainya.
Tapi karena pemerintah kita tetap
menomor satukan pembangunan fisik dan merubuhkan bangunan tua yang bernilai
sejarah, tepatlah jika wisatawan beranggapan bahwa Makassar itu “gersang” dari
obyek wisata yang menarik. Buktinya, ada turis tapi rata-rata langsung menuju
Tana Toraja. Padahal jika bangunan tua itu dirawat dan dipertahankan tentu
memiliki nilai jual yang tinggi. Tapi apa lacur semuanya hanya semu.
Pembangunan yang ada sekarang semuanya modern, sehingga bangunan tua terkesan
diabaikan.
Bisa dibayangkan kalau semua cagar
budaya yang ada di Kota Makassar hilang, maka apa yang bisa kita ceritakan atau
wariskan kepada anak cucu kita. Termasuk bangunan Belanda itu, sekarang tidak
bisa lagi kita menyaksikannya kecuali mendengar ceritanya saja tanpa ada bukti
yang nyata.
Memang diakui bahwa pemerintah itu
cenderung mengabaikan bangunan tua, padahal sudah ada aturannya. Tapi karena
selalu ingin melanggar aturan maka itulah yang terjadi. Siapa yang berani
melawan kalau pemerintah yang mau, padahal jabatan itu hanya sementara. Ibarat
daki yang melengket pada tubuh kita. Kapan sudah berakhir masa jabatannya itu maka
sudah pasti bahwa harus ditinggalkan.
Kalau perlakuan kita membangun bangsa
ini, tentunya memiliki cerita tersendiri, namun kalau semasa kita berkuasa
hanya merusak dan membongkar melulu tentunya juga memiliki cerita tersendiri.
Padahal, jika mempertahankan bangunan bersejarah itu tentunya bisa membawa
rezeki dimasa akan datang.
Mudah-mudahan bangunan bersejarah
lainnya bisa dipertahankan karena selama ini sudah terjadi eksploitasi besar.
Misalnya Karebosi yang sudah diubah fungsinya dan tidak sesuai dengan aslinya.
Begitu pula dengan Pantai Losari yang dulunya dikenal dengan kursi terpanjang
di dunia. Kini sudah berubah bahkan tidak mencirikan lagi pantai losari yang
dikenal sejak dahulu.
Karebosi direvitalisasi hanya karena
uang. Memang sepintas pembangunan karebosi sangat bagus tapi itu bukan suatu
tujuan utama. Karena nilai sejarahanya yang hilang. Bisa dibanyangkan kalau ada
yang ingin bertemu ataukah tersesat, maka patokan atau tandanya adalah
Karebosi. Apalagi pesan orang tua dulu bahwa suatu saat Karebosi menjadi tempat
pemilihan bagi warga yang didalamnya terdapat 7 (tujuh) orang yang sama tanpa
ada perbedaan, sehingga siapa saja yang salah pilih pasti akan ikut kepada
pilihannya. Tapi sekarang Karebosi sudah menjadi tempat kuliner yang tujuan
utamanya berdagang atau makan-makan.
Jangan heran jika wisatawan asing jarang
yang ingin berkunjung ke Karebosi karena di negaranya saja sudah banyak bangunan
seperti itu. Mereka hanya mencari keaslian daerah, termasuk Pantai Losari yang
selama ini ingin mereka saksikan dari dekat. Tapi semuanya sudah berubah
seiring dengan pembangunan yang digencarkan oleh pemerintah.
Semoga cagar budaya ini tidak ada lagi
yang terkoyak-koyak akibat ulah pemerintah atau perusahaan yang berkantong tebal.
Semoga cagar budaya bisa dipertahankan keberadaannya khususnya yang berada di
Koata Makassar. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar