Wacana gerakan peningkatan ekspor tiga
kali lipat yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo di Makassar belum lama ini
merupakan angin segar bagi pengusaha di bidang ekspor impor. Pasalnya, ekspor
hasil bumi ini sangat menjanjikan jika penanganan dan pengolahannya dilakukan secara
professional.
Bahkan ekspor tiga kali lipat ini
sepertinya masih jauh dari harapan sebab kalau dilihat secara ril dilapangan,
dimana hasil bumi masih sangat sedikit dan bahkan tidak memenuhi kuota untuk
ekspor sehingga peningkatan ekspor tiga kali lipat ini tergolong hanya retorika
belaka. Namun, jika hal itu tetap terwujud, maka itu suatu prestasi yang
membanggakan karena selama ini ekspor masih terkesan jalan ditempat dan tidak
ada peningkatan. Malah sebaliknya yaitu terjadinya penurunan.
Pengamat ekonomi UI Faisal Basri
mengatakan otimisme sah-sah saja. Saya juga sangat ingin perekonomian Indonesia
maju dan ekspor terpacu sehingga nilai tukar rupiah tidak merosot terus
menerus. Masalahnya, ini mengurus perekonomian Negara, bukan obral janji
seperti dimasa kampanye lagi. Segala sesuatu harus akuntabel dan kredibel. Target
menaikkan nilai ekspor tiga kali lipat berarti ekspor dalam lima tahun
(2015-2019) naik sebesar 200 persen. Jika tahun 2014 total ekspor USD 176,3
miliar berarti pada ekspor 2019 ekspor harus naik menjadi USD 528,9 miliar. (Fajar Agustus 2015).
Meski diakui bahwa wacana yang dilakukan
oleh Presiden tersebut sangat bagus, namun untuk memenuhinya maka berbagai faktor
pendukung terlebih dahulu harus diperbaiki. Apalagi mengingat sektor kelautan
dan perikanan masih dihadang oleh berbagai kendala yang memerlukan perbaikan
disana sini. Salah satu contoh adalah perbaikan infrakstruktur tambak untuk
meningkatkan hasil budidaya dari udang windu, udang putih dan ikan bandeng.
Sedangkan pada pertanian khususnya padi tentunya sawah menjadi kendala, karena
untuk meraih swasembada beras harus panen lebih dari satu kali. Sementara masyarakat
sebagian saja yang bisa menanam dua kali setahun.
Jadi ini semua yang harus dipikirkan
karena ekspor itu ada kalau bahan baku sudah siap. Tapi sekarang bahan baku itu
yang susah sehingga para pengusaha terkadang berteriak karena kurangnya bahan baku
untuk dieskpor. Jadi bagaimana mau melakukan ekspor tiga kali lipat jika bahan
baku tidak bisa mencukupi.
Olehnya itu, untuk memenuhi target
tersebut sebaiknya pemerintah termasuk pengusaha untuk “turun gunung” melihat
kondisi lapangan karena banyak hal yang harus mendapat perhatian. Baik itu
perikanan darat maupun perikanan laut. Khusus di laut penangkapan ikan yang
semestinya banyak hasil tangkapan tapi karena armada bagi para nelayan masih
sangat minim dan bahkan masih banyak tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Misalnya kapal motor hanya 5 sampai 10 GT pada masyarakat nelayan.
Berdasarkan data DKP Sulsel dimana Sulsel
memiliki garis pantai sepanjang 1.993,69 Km dan terdiri 298 pulau-pulau kecil. Jumlah nelayan
tercatat sebanyak 104.897 orang yang mengoperasikan armada penangkapan sebanyak
35.144 unit terdiri dari kapal motor ukuran 30-50 GT sebanyak 4 unit, ukuran
20-30 GT sebanyak 39 unit, ukuran 10-20 GT sebanyak 267 unit, ukuran 5-10 GT sebanyak 2.655 unit, ukuran 0-5 GT
sebanyak 10.259 unit. Motor tempel 17.030 unit dan perahu tanpa motor 4.890
unit. Komposisi armada tersebut
menunjukkan bahwa nelayan di daerah ini masih
didominasi oleh nelayan kecil dengan kemampuan operasi terbatas.
Jadi tidak heran jika masyarakat miskin lebih
banyak karena dilihat ukuran kapal mulai 0-5 GT sebanyak 10.259 unit. Jadi
lebih banyak yang memiliki mesin kecil dari pada yang besar. Sedangkan untuk menopang
ekspor tiga kali lipat tentunya masyarakat kecil pun sangat berperan terutama
yang berdomisli di daerah pesisir karena pekerjaannya memang mencari ikan. Tapi
karena armada yang digunakannya tergolong kecil sehingga tidak bisa memberikan
hasil yang dapat membantu dalam pemasokan bahan baku bagi perusahaan eskpor.
Belum lagi nelayan asing yang kerap
menjadi persoalan lantaran memasuki wilayah perairan Indonesia untuk mencuri
ikan. Meski sekarang ada kebijakan pemerintah untuk menenggelamkan kapal atau
membakarnya jika tertangkap basah dalam illegal
fishing, tapi itu juga belum bisa diatasi secara keseluruhan lantaran masih
banyak pelaku pencurian ikan sering mengelabui petugas dengan memakai bendera
Indonesia, tapi yang punya kapal adalah pengusaha asing. Cuma anak buahnya
adalah orang asli Indonesia dan memakai bendera Indonesia, sehingga ini sulit
terdeteksi jika petugas tidak serius dalam melakukan tugasnya di laut.
Nah, kesemunaya ity merupakan salah satu
kendala dalam mewujudkan wacana gerakan peningkatan ekspor tiga kali lipat yang
dicanangkan pemerintah. Olehnya itu, pihak pengusaha juga harus dituntut untuk
kerja keras agar apa yang menjadi wacana itu tercapai, tapi kalau hanya seperti
ini prilaku pengusaha, maka yakin saja bahwa wacana itu hanya tinggal wacana
tanpa ada yang bisa merealisasikan.
Selama kurun waktu lima tahun
(2008-2013) ekspor Indonesia naik 24,5 persen. Angka itu sangat jauh lebih
rendah dibanding target kenaikan ekspor tahun 2015 hingga 2019 yang sebesar 200
persen. Dibandimg Negara-negara lain di dunia, pada kurun waktu yang sama ,
peningkatan ekspor tertinggi dinikmati India, yaitu sebesar 74,9 persen. Tapi
itu pun sangat rendah kalau dibandingkan dengan target pemerintah yang 200
persen. (Fajar, Agustus 2015).
Olehnya itu, kita tidak bisa terlalu
banyak bermimpi sebab kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan yang ada di
data. Hal itu bisa dibuktikan ditempat-tempat pengusaha yang setiap harinya
bisa melakukan ekspor.
Mudah-mudahan apa yang diwacanakan itu
bisa terwujud, sebab kapan sudah ada wacana berarti itu harus dilaksanakan
apalagi pemerintah sudah mendukung, tinggal para pelaku usaha yang tahu persis
disertai dengan berbagai trik yang dimiliki agar apa yang dijanjikan pemerintah
ini bisa tercapai. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar