Sulawesi Selatan memiliki panjang garis pantai sekitar
1.973,7 km dengan luas perairan laut 45.574,48 km2, yang terdiri dari 3 kawasan
yakni Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone, serta memiliki hamparan
pulau-pulau kecil dalam kawasan kepulauan Spermonde. Hal ini merupakan salah
satu potensi yang cukup besar bila dikelola dengan baik, sehingga ke depan
dapat menghasilkan devisa negara yang cukup besar.
Untuk
itu, potensi pesisir yang bisa menghasilkan sesuatu itu sangat besar, namun
potensi pesisir yang ada di pantai losari menjadi “perseteruan” antara
pemerintah dan para penimbun atau orang yang menguasai lahan tersebut tanpa ada
dokumen yang sah. Seperti halnya pengusaha yang mengklaim hampir seluruh
pesisir pantai losari dikalim adalah miliknya. Bahkan proses tersebut masih
berlangsung tapi apa lacur, pembangunan di kawasan tersebut tetap berjalan.
Hal
ini mungkin karena aturan tentang wilayah peisisr belum ada sehingga para pemodal
berlomba untuk membangun daerah tersebut. meski aturan diabaikan karena memang
belum tampak di permukaan. Akan tetapi baru-baru ini Rancangan
Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar
resmi disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) yang dilakukan oleh DPRD Kota
Makassar melalui sidang paripurna DPRD di
Ruang Paripurna DPRD Makassar. Adanya perda RTRW ini sehingga daerah atau
wilayah pesisir Makassar sudah bisa menata kembali wilayahnya. RTRW mengatur
tata ruang secara umum dan secara khusus akan dimasukkan dalam ranperda RDTW (Rencana
Detail Tata Ruang).
Kalau kita amati dan mengikuti
perkembangan yang ada bahwa pembuatan perda RTRW ini cukup memakan waktu yang
tergolong lama. Bahkan tidak kurang dari tujuh tahun dibahas oleh anggota dewan
baru ada keputusan tentang RTRW Kota Makassar. Nah, sekarang sudah ada
aturannya sehingga siapa saja bisa berpedoman kepada RTRW tersebut. jangan
sampai perda ini hanya dibuat dan menjalankannya hanya panas-panas tahi ayam.
Memang diakui bahwa pada saat pertama kali
diberlakukan semuanya harus patuh dan tidak boleh ada yang melanggar, tapi
lama-kelamaan perda tersebut hanya “pajangan” saja lantaran semua orang yang
berkepetingan di daerah pesisir tidak akan melihat atau memedomani lagi,
sehingga terkesan perda dibuat hanya untuk memenuhi kriteria sebagai kota yang
memiliki wilayah pesisir.
Olehnya itu, perda yang baru saja
disahkan ini sangat membutuhkan banyak pengorbanan mulai dari tim yang dibentuk
hingga kepada penggunaan anggaran. Jadi kalau sudah ada perdanya, maka aturan
itu harus dijalankan dengan baik dan tegas tanpa memilih merek. Jika sudah
melanggar aturan maka tidak segan-segan melakukan penindakan karena kalau orang
seperti ini diloloskan atau diberikan kebijakan, maka itu sangat bertentangan
dengan aturan dan bisa-bisa mempermainkan aturan yang telah dibuat itu.
Bisa dibayangkan kalau membuat satu
perda (RTRW) membutuhkan waktu kurang lebih tujuha tahun lamanya, maka itu
perlu dipikirkan ke depannya. Sebab jangan sampai perda ini tidak berjalan
mulus sesuai dengan harapan banyak orang. Bisa perda ini dipermainkan kalau
orang yang banyak duit, maka apa saja bisa dilakukan demi untuk mencapai tujuan
tertentu. Apalagi penegakan hukum kita di tanah air terkesan bisa diatur dan
bahkan bisa “dibeli” sehingga sebagian masyarakat tidak terlalu percaya lagi
dengan produk hukum di negara ini.
Wajar saja jika semua aturan yang dibuat
itu masih penuh dengan tanda tanya.
Apakah berjalan dengan mulus atukah hanya sepintas. Yang jelas sudah ada produknya
sehingga tidak dicap lagi sebagai daerah yang tidak memiliki aturan. Apalagi
kawasan Center Poin of Indonesia
(CPI) sudah dikenal oleh masyarakat dan disitupula banyak terjadi pelanggaran
yang tidak sesuai dengan atura yang ada.
Meski perda telah selesai dibuat tapi
yang menjalankan aturan itu perlu dipertanyakan dengan baik. Jangan sampai
aturan yang telah dibuat hanya “pajangan” saja sehingga yang berbuat salah
tetap berjalan dengan santainya. Apalagi daerah ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengembangan
di wilayah pesisir, apalagi jika pembangunannya itu menyentuh rakyat kecil yang
selama ini masih terkesan dipinggirkan. Pasalnya, masyarakat yang berdomisli di
daerah pesisir masih sering disebut
sebagai masyarakat yang tergolong miskin, sehingga perlu perhatian dari
pemerintah untuk mengatasi julukan tersebut.
Jika dilihat kawasan pesisir Kota Makassar, khususnya
kawasan CPI yang kini dalam pengembangan kawasan untuk kepentingan masyarakat, tapi
itu sebenarnya harus tetap merujuk kepada aturan yang ada. Jangan sampai
dilakukan pengembangan tapi disisi lain banyak kerugian yang ditimbulkan
terutama bagi masyarakat yang berdomisli di daerah itu.
Muncul pertanyaan bahwa apakah hanya kawasan tersebut
satu-satunya bisa dikembangkan. Padahal sejak dulu daerah tersebut cukup bagus
dalam pemandangan masyarakat luar karena daerah ini terutama pinggir pantai
yang sudah dikenal dengan ”kursi tepanjang di dunia”. Akan tetapi kalau sudah ada
bangunan yang terdapat di luarnya, maka itu sudah pasti bahwa penghalang
pandangan sudah jelas terjadi dan itu tidak bisa dipungkiri bahwa pantai losari
sudah melenceng dari keasliannya.
Padahal, kalau dilihat dimana wisatawan manca negara
selalu mencari tempat-tempat yang asli dalam menikmati keindahan alam yang ada.
Tapi kalau sudah direklamasi maka itu sudah jauh bergerser dari apa yang
diharapkan itu.
Olehnya itu, adanya RTRW ini, maka daerah pesisir bisa
diselamatkan dari kehancuran sebab kalau ada perda tapi tidak dipedomani, maka
itu sama saja jika perda itu mubassir. Padahal, dibuatnya perda ini
diperuntukkan untuk menata kawasan pesisir yang kerap dijadikan pengrusakan
oleh orang-orang yang memiliki banyak modal.
Mudah-mudahan, perda RTRW ini bisa berjalan dengan mulus
tanpa ada hambatan lagi dalam melakukan penegakan di kawasan pesisir. Semoga !