Sulawesi Selatan (Sulsel) merupakan salah satu daerah
yang ada di Indonesia memiliki tanah yang subur, sehingga apa saja yang ditanam
akan tumbuh dengan baik. Wajar saja jika kesuburan tanah ini bisa dimanfaatkan
agar masyarakat dapat menikmati hasilnya. Sebab selama ini banyak tanah masyarakat
yang kurang dimanfaatkan sehingga terkesan mubassir atau dikenal dengan lahan “tidur”.
Padahal, kalau dikelola dengan baik hal itu bisa menghasilkan sesuatu yang
bernilai ekonomi dan nilai jual tinggi sehingga masyarakat dapat sejahtera.
Salah satunya yang memiliki prospek dan bernilai
jual tinggi adalah kayu jabon. Jabon
(Anthocephalus
cadamba) adalah sebuah pohon yang tumbuh di wilayah Asia dan khususnya Asia
Selatan hingga Papua
Nugini. Di Indonesia, pohon ini juga memiliki
nama lebih dari satu sehingga dikenal sebagai jabun, kelampayan, empayang,
atau worotua. Meski diketahui bahwa pohon ini sangat dikeramatkan oleh
umat Hindu di India.
Tapi di tanah air kayu ini memiliki prospek yang sangat bagus, sehingga tidak
ada salahnya jika masyarakat dapat mencobanya.
Jabon
adalah Tanaman Kayu Keras yang cepat
tumbuh, Tanaman Jabon termasuk famili Rubiaceae ini tumbuh baik pada ketinggian
0 – 1000 meter dari permukaan laut, pada jenis tanah lempung, podsolik cokelat
dan aluvial lembab yang umumnya terdapat di sepanjang sungai yang ber-aerasi
baik. Jabon adalah jenis pohon cahaya (light-demander) yang cepat tumbuh. Pada
umur 3 tahun tingginya dapat mencapai 9 M dengan diameter (garis tengah lingkar
batang) 11 cm. Pada usia antara 5 dan 6 tahun lingkar batangnya bisa
mencapai 150 cm (diameter 40 cm sampai 50 cm), diameter pertumbuhan
antara 5 cm sampai 10 cm/tahun. Pohon Jabon yang tumbuh dihutan
pernah ditemukan mencapai tinggi 45 M dengan diameter lebih dari 100 cm. (https://id.wikipedia.org/wiki/Jabon)
Pohon
ini sangat cocok untuk dijadikan sebagai investasi jangka menengah. Pasalnya,
jabon ini mudah tumbuh di lahan terbuka, tanah liat/lempung padsolik cokelat,
tanah berbatu sehingga sangat tepat untuk dijadikan sebagai tanaman penghijauan
di lahan kritis. Bahkan pohon ini dikenal tidak rewel lantaran tidak
membutuhkan perawatan khusus dari pemilik lahan karena ia tahan terhadap hama
dan penyakit. Pohon tersebut dikenal memiliki daun yang lebar dan hijau, bahkan
sanggup menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen lebih banyak. Bukan hanya itu,
jabon ini sangat disukai oleh industri karena memang membutuhkan seperti ini
sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai penghasil atau perbaikan ekonomi
kerakyatan.
Salah
satu kelebihannya adalah bisa tumbuh kembali setelah ditebang/ dipanen untuk
dinikmati hasil panen yang ke dua. Jadi masyarakat dapat memanfaatkan lahan
yang ada atau yang tidak terpakai, karena selain pemeliharannya sangat mudah
juga tidak menyita waktu dalam melakukan pemeliharaan karena tumbuh dengan sendirinya
sehingga sangat cocok dalam budidaya. Apalagi banyak lahan tidur di daerah pedesaan
yang tidak termanfaatkan, sehingga dengan adanya kayu ini maka masyarakat dapat
memanfaatkan lahannya yang tersedia.
Memang
diakui bahwa keberadaan kayu jabon ini khususnya di Sulsel belum terlalu
familiar sehingga masyarakat banyak yang belum tahu. Padahal kalau itu digeluti
tentunya bisa memberikan hasil yang lumayan besar. Sehingga ini harus
diusahakan untuk meminimalisir tanah atau lahan yang terbengkalai (tanah
tandus) agar bisa dimanfaatkan.
Sesuai
dengan diskusi kecil dengan teman (Muh. Tamrin dan Muh. Ramli) keduanya adalah
staf Dinas Kehutanan Provinsi Sulsel bahwa masyarakat bisa menanam pohon
tersebut guna menambah penghasilan keluarga. Walaupun diakui bahwa sekarang ini
pohon tersebut belum banyak diketahui oleh masyarakat di daerah ini, sehingga
untuk mengajaknya “berinvestasi” masih belum percaya apalagi belum pernah
melihat hasil secara langsung. Tapi kalau sudah ada yang berhasil biasanya
banyak ikut sehingga untuk merubah pola pikir masyarakat yang ada terlebih dulu
harus memberikan contoh atau hasil.
Kalau
dihitung misalnya kita punya lahan seluas 1 (satu) Ha bisa ditanami kayu jabon sebanyak 600 pohon
dengan ukuran 2 x 3. Artinya 2 baris ke depan dan 3 baris berderet. Jadinya
berjumlah 600 pohon per hektar. Sementara satu pohon biasanya menghasilkan kayu
sebanyak 3 (tiga) kubik. Harga per kubiknya sebesar Rp 1.200.000 x 3 = Rp 3.600.000,-
per pohon. Jadi Rp 3.600.000 x 600 pohon = Rp 2.260.000.000,- miliar per satu kali panen.
Bisa
dibayangkan kalau petani kita yang memiliki lahan seluas 1 ha menghasilkan Rp
2.260.000.000,- hanya dengan 5 – 6 tahun masa pemeliharaan. Memang diakui bahwa
waktu sepanjang itu tergolong lama, namun jika tetap ada pekerjaaan lain, maka
waktu selama itu tidaklah menjadi beban atau terasa lama, karena bukan itu yang
diurusi. Mereka tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya perlakuan khusus sehingga
ini sangat tepat untuk mensiasati waktu yang ada.
Olehnya
itu, kalau memang itu digalakkan maka yakin dan percaya bahwa selain alam kita
terjaga juga dapat mengahsilkan uang banyak tanpa kerja keras. Modal pun tidak
seberapa, sehingga ini cukup efektif dalam melakukan budidaya kayu jabon. Kita
juga tidak perlu berfikir lahan, karena biar tidak ada lahan seluas itu, bisa
juga kita memanfaatkan lahan yang tersedia di samping rumah. Sebab masyarakat
kita khususnya yang ada di kampung banyak memiliki pekarangan (halaman) yang
tidak terpakai dan tinggal begitu saja, sehingga ini bisa ditanami apakah 10
pohon atau berapa saja yang mampu dimuat.
Dengan
demikian, maka pohon jabon yang menjadi sumber pendapatan masyarakat di daerah
ini yang memiliki nilai jual tinggi bisa didorong atau disosialisasikan ke
daerah-daerah agar masyarakat dapat memahaminya, sehingga mereka ada kemauan
untuk melakukan budidaya tersebut. Mudah-mudahan ke depan bisa memanfaatkan
lahan yang ada agar tidak menjadi lahan tidur dan dapat menghasilakn sesuatu
untuk perbaikan ekonomi. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar