Belakangan ini, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) gencar melakukan penanganan tentang illegal fishing. Hal itu
terbukti dengan banyaknya kapal-kapal pencuri ikan yang memasuki wilayah
perairan Indonesia ditangkap oleh petugas. Untuk itu, perlu di dukung atas
tindakan atau kebijakan yang dilakukan oleh orang nomor satu di KKP ini.
Namun, dari berbagai penangkapan kapal
ikan yang bertandang di perairan Indonesia itu tidak sedikit yang melakukan
“perlawan”. Meski aparat tetap berupaya melakukan pengawasan atau penanganan
kapal pencuri ikan, tapi toh mereka tetap kecolongan. Buktinya sebanyak 9 (sembilan)
kapal pencuri ikan asal Cina melarikan diri.
Menteri
Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti geram karena 9 kapal pencuri ikan yang
ditahan di Pelabuhan Timika, Papua, dibawa kabur 39 anak buah kapal (ABK) asal
China. Menurutnya, hal tersebut merupakan buah kelalaian aparat keamanan yang
menjaga 9 kapal tersebut. Selain itu, kejadian tersebut juga dianggap
sebagai pelanggaran serius China atas kedaulatan Indonesia. "Kita akui ini
keteledoran aparat kita yang dalam hal ini kurang memberi perhatian. Apa yang
dilakukan ABK Tiongkok sangat tidak menghormati negara kita," ujar Susi
saat konferensi pers di kantornya, Jalan Ridwan Rais, Jakarta, Senin
(11/1/2016).
(http://www.posmetro.info )
Olehnya itu, penanganan kapal tangkapan
ini perlu diseriusi terutama penjagaannya sebab kalau hal sekecil ini terjadi
berarti memang negara ini dianggap tidak memiliki kepedulian terhadap apa yang
mereka lakukan. Meski diakui bahwa menteri kelautan dan perikanan tetap kukuh
dalam menangkap kapal-kapal pencuri ikan tapi kalau penanganannya tidak
maksimal sama saja kalau melakukan pembiaran.
Bisa dibayangkan kalau jumlah kapal
sebanyak sembilan, tapi semuanya kabur berarti itu merupakan pukulan berat bagi
petugas kita dilapangan. Namun, tetap ada pertanyaan bahwa apakah memang kapal
tersebut dijaga ataukah tidak, karena mereka bisa lolos. Ataukah ada kongkalikong
dengan petugas penjagaan alias sogokan sehingga tidak ada lagi perhatian untuk
menjaganya.
Padahal, kalau memang benar maka itu tidak
ada alasan untuk melarikan diri, walaupun tempatnya jauh tetap dapat dijaga.
Jangan beranggapan bahwa tempatnya sangat jauh dan jauh dari pos penjagaan,
sehingga mereka mudah kabur. Alasan seperti itulah tepat untuk diungkapkan
karena kalau memang ada kapal tangkapan tidak perlu ditempatkan jauh dari
pelabuhan karena sudah pasti bahwa jalur tersebut sangat mudah untuk meloloskan
diri.
Disinilah peran petugas penjagaan agar
kapal-kapal yang tertangkap itu sebaiknya ditempatkan pada lokasi atau dekat
pelabuhan sehingga mudah untuk mengontrolnya. Hal ini yang harus
diperhatikan ke depan sebab setiap ada
tindakan selalu saja ada celah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang
akan melarikan diri. Disamping itu, pengurusan surat-surat untuk penenggelaman
kapal juga sangat berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama
baru selesai.
Padahal, kapal sitaan itu bisa digunakan
untuk negara sepanjang kapalnya masih memiliki kondisi yang bagus. Tapi kalau
pengurusan surat-suratnya saja memakan waktu berbulan-bulan baru rampung, maka
kapal tersebut baru bisa dimusnahkan saat kapalnya juga rusak ditempatnya
berlabuh. Semua ini memerlukan pemikiran dan perhatian yang serius pada
instansi yang terkait agar memutuskan suatu perkara jangan terlalu lama
sehingga barang yang bagus dan bisa digunakan, tapi karena lamanya berada di
tempat itu yang akhirnya juga rusak.
Olehnya itu, kebijakan KKP dalam
menangkap kapal pencuri ikan ini tetap didukung mengingat hasil yang dicuri
orang lain sangat besar. Bisa dibayangkan kalau dalam setahunnya sumber daya
ikan kita bisa mencapai miliaran diambil orang sehingga ini menjadi perhatian
bagi kita semua.
Data
yang diumumkan FAO tahun 2001 menyatakan bahwa negara-negara berkembang
berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber
daya ikannya akibat dari IUU Fishing. Indonesia pada saat itu memiliki sumber
daya ikan hingga sebesar 6,5 juta ton per tahun
sehingga perhitungan angka kerugian yang hilang adalah seperempat dari jumlah
itu atau sebesar 1,6 juta ton. Jika diasumsikan harga jual ikan di pasar
internasional rata-rata 2 dolar AS per kilogram, maka kerugian Indonesia pada
saat itu diperkirakan mencapai 3,2 miliar dolar AS atau setara Rp 30 triliun
ketika itu. Namun pada saat ini, Ditjen PSDKP KKP melakukan kajian yang
menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun
dapat dihitung dari hilangnya potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara
ilegal dikalikan indeks investasi bidang perikanan di Indonesia ditambah dengan
kerugian terkait ketenagakerjaan. (http://www.republika.co.id)
Selain
minimnya armada patroli, pencurian ikan di laut Indonesia juga diperparah
dengan pemberian izin kepada pemilik kapal asing untuk menangkap ikan di
wilayah perairan Indonesia. Kapal-kapal asing tersebut berbendera ganda. Ketika
mereka menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia, mereka menggunakan bendera
Merah Putih. Tetapi bendera akan diganti ketika kembali mengantar hasil
tangkapan ikan ke negara asalnya. Penyalahgunaan izin ini diperantarai oleh
pengusaha ikan domestik. Diperkirakan sebanyak 700 kapal asing yang melakukan
penyalahgunaan izin. Penyalahgunaan izin ini bisa jadi makin besar ketika
aparat ikut terlibat secara langsung atau tidak dalam pengurusan surat izin
usaha perikanan, penangkapan ikan, dan izin kapal pengangkut ikan. (http://www.kompasiana.com)
Olehnya itu, dari kasus-kasu yang ada
itu, maka pihak yang berkompoten sebaiknya melakukan penanganan yang baik agar
ke depan tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diinginkan. Mudah-mudahan penangkapan kapal pencuri ikan
tetap gencar dan kapalnya bisa dijaga dengan baik agar tidak kecolongan lagi. Semoga
!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar