Banyaknya orang yang ada di tanah air
dan berkasus sehingga penegak hukum juga semakin hari semakin gencar melakukan
penegakan hukum. Pasalnya, rata-rata yang terkena kasus korupsi adalah pejabat.
Padahal pejabat seharusnya dapat memberikan contoh atau diteladani dalam
menjalankan tugasnya untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara.
Namun apa lacur, berbagai kasus korupsi di Indonesia bukannya berkurang tapi malah
bertambah. Padahal kasus korupsi ini tidak seharusnya bertambah karena sudah
banyak contoh kasus pejabat yang ditahan akibat korupsi.
Mestinya kasus seperti ini menjadi
pembelajaran untuk dipahami dan direnungkan agar tidak ada lagi yang berbuat seperti
itu, terutama bagi pejabat sebut saja bupati dan walikota. Belum lagi instansi
pemerintah yang kerap menjadi tersangka akibat perbuatannya. Wajar saja jika
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering melakukan Operasi Tangkap Tangan
(OTT) pada pejabat. Memang diakui bahwa kebedaraan KPK di Indonesia menjadi “momok”
bagi pelaku atau yang gemar melakukan korupsi atau mencuri uang negara.
Keberadaan KPK ini sering menjadi bahan
diskusi bagi instansi lain karena banyaknya kasus yang ditangani. Begitu pula
dengan Polri yang dikenal juga memiliki salah satu bidang yang juga melakukan
pemberantasan korupsi. Tidak heran jika beberapa waktu lalu ada istilah “cicak”
dan “buaya” yang berseteru karena
berbagai kepentingan. Memang KPK menjalankan tugas tidak memilih merek siapa
pun yang bersalah dan terbukti langsung digelandang ke tahanan KPK.
Penegakan hukum khususnya yang menangani
masalah korupsi ini semakin hari semakin mendesak untuk cepat melakukan proses.
Sehingga Polri berkeinginan untuk menambah kekuatan dengan membentuk lembaga
baru yaitu Densus Tipikor yang khusus menangani kasus korupsi di tanah air. Perlukah
dibentuk Densus Tipikor Polri ? Padahal kita sudah tahu bahwa penegak hukum dalam
menangani kasus korupsi itu sudah ada KPK yang memang fokus. Jadi kalau
dibentuk penegakan hukum lain tentunya ini bisa tumpang tindih dan semakin
memperpanjang jalur koordinasi sesama penegak hukum.
Dilihat dari penjelasan polri dimana
anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 2,6 Triliun yang dipimpin oleh polisi
berpangkat Irjen atau bintang dua. Sedangkan wilayah dipimpin Komisaris Besar
(Kombes) baik tipe A, B dan C. dengan jumlah personil di seluruh Indonesia
kurang lebih 3.000 orang. Melihat jumlah anggaran yang diperlukan dalam
pembentukan densus tipikor ini besar. Padahal penanganan kasus korupsi sudah
ada KPK, sehingga tidak perlu lagi ada instansi lain yang dibentuk untuk mengurusi
kasus yang sama. Apakah ini bukan cara untuk menggembosi KPK ?
Sebab keberadaan KPK banyak yang
beranggapan sebagai “musuh” dan harus
disingkirkan minimal dilemahkan sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan
baik. Pasalnya, KPK ini menangkap orang dengan OTT sehingga korbannya tidak
bisa mengelak karena terbukti dalam hal penyalahgunaan kekuasaan. Olehnya itu,
polri yang mempunyai hubungan dengan KPK kurang “mesra”, meski di depan publik
kemesraan itu tetap diperlihatkan dan satu sama lain saling mendukung demi
untuk melakukan penegakan hukum di tanah air. Akan tetapi, dibalik itu tentunya
tetap ada kejanggalan yang terjadi. Buktinya beberapa pekan polisi yang
bertugas di KPK langsung ditarik dengan alasan untuk membentuk densus tipikor
untuk fokus menangani kasus korupsi.
Namun, kalau kita cermati lebih dalam
pembentukan densus tipikor ini bukan murni untuk menangani kasus korupsi, tapi
itu terkesan untuk membagi-bagi jabatan di lingkungan kepolisian lantaran
banyaknya perwira yang tidak memiliki jabatan. Jadi kalau densus tipikor ini
terbentuk berarti pangkat selepel Kombes itu banyak terserap sehingga peluang
untuk menduduki jabatan baru itu terbuka. Di samping itu, mereka mendapatkan
tunjangan jabatan yang berarti bahwa negara harus menambah lagi keuangan untuk
membiayai personil densus ini.
Padahal kalau dipikir densus tipikor
tidak perlu dibentuk karena instansi yang
menangani kasus korupsi sudah banyak. Apalagi kepolisian juga sudah ada
bidang yang memang menangani kasus korupsi. Tinggal bagaimana mengasa atau
memantapkan sumber daya manusianya agar mereka bekerja lebih baik lagi. Karena
di tubuh kepolisian juga tetap ada kasus yang mestinya tidak perlu terjadi
karena mereka adalah penegak hukum yang dianggap bisa memberikan contoh kepada
masyarakat. Karena polisi itu adalah pengayom masyarakat sehingga wajar kalau
tingkah laku atau perbuatan yang baik harus diperlihatkan agar masyarakat dapat
mengakuinya.
Jangan lagi ada kesan bahwa polisi selalu
membuat sesuatu yang kurang pantas dilakukan, tapi toh tetap ada oknum polisi
yang melakukan perbuatan kurang terpuji. Hal tersebut seharusnya diberantas,
bukan lagi malah ingin membentuk suatu “kabinet” dalam mengurus kasus korupsi. Sebab
KPK sudah ada ditambah lagi di tubuh kepolisian ada bidang yang menangani
persoalan korupsi.
Mudah-mudahan keinginan kepolisisn untuk
membentuk densus tipikor dapat dipertimbangkan agar keuangan negara tidak
tersedot lagi. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar