Kamis, 26 November 2015

Peraturan yang tidak Solutif (Catatan tentang UU No 23 Th 2014)



Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah air dan khususnya yang berdomisili di daerah pesisir, maka pemerintah pun tidak henti-hentinya merancang atau membuat peraturan guna meminimalkan kemiskinan di tanah air. Betapa tidak, jika saat ini banyak masyarakat yang terkesan hidupnya pas-pasan sehingga kebutuhan keluarganya terkadang sangat sulit dipenuhi, meski mereka bekerja sekuat tenaga.
Wajarlah jika pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dimana kewenangan sudah diataur sedemikian rupa, sehingga peraturan ini dianggap cukup membuat masyarakat awam kembali “bingung”. Apalagi undang-undangnya tidak pernah diuji publik/disosialisasikan sehingga keraguannya pun cukup membuat “resah” untuk memberikan atau berpihak kepada masyarakat kecil.

Salah satu contoh masyarakat pesisir yang memiliki kapal atau alat tangkap yang bermesin di atas 5 – 30 Gross Tonase (GT) itu pengurusan izinnya harus di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi, sementara dibawah 5 GT hanya surat tanda daftar. Olehnya itu, kewenangan provinsi yang mengambil alih pengurusan izin yang selama ini ditangani oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota (instansi yang ditunjuk) dan sekarang semuanya harus di provinsi.
Mencermati Undang-Undang 23 ini merupakan salah satu aturan yang tergolong “menyesatkan” dan sangat tidak memberikan solusi atau tidak berpihak kepada masyarakat kecil lantaran pengurusan izinnya terlalu jauh dari lokasi pemilik kapal. Bisa dibayangkan kalau di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Luwu Utara ada nelayan yang ingin melengkapi surat kapalnya dengan mengurus izin di Provinsi, itu berarti selain membuang-buang waktu, tenaga dan biaya, sementara ada dinas di kabupaten yang dekat dengan nelayan. Jangankan di Provinsi, di kabupaten saja nelayan ini jarang berkunjung secara langsung ke dinas, tetapi mereka menitipkan atau meminta bantuan kepada orang lain.
Begitupula di provinsi, pasti biayanya besar karena memakai jasa orang lain untuk mengurus izin yang seharusnya bisa ditangani oleh kabupaten. Aturan semacam ini bukannya memudahkan masyarakat tapi malah lebih mempersulit masyarakat. Hal ini sangat disayangkan karena aturan yang selama ini sudah berjalan dengan baik dan tidak ada masalah, tapi kenapa dibuatkan aturan yang berbelit-belit lagi sementara argumennya selalu ingin membantu masyarakat kecil, tapi kenyataannya di lapangan sangat jauh berbeda.
Belum lagi dengan sistim pengawasan di laut yang kesemuanya ditarik ke provinsi. Jika kewenangan provinsi dalam melakukan penjagaan tergolong luas sehingga ini juga menjadi problem di lapangan. Sebab jika terjadi pelaku illegal fishing di kepualauan misalnya di Kabupaten Selayar, maka yang harus bertindak adalah pengawas dari DKP Sulsel. Jadi baru orang bergerak dari Makassar menuju Selayar, pelaku illegal fishing ini sudah melarikan diri. Jadi bagaimana penegakan hukum di laut bisa efektif kalau semuanya diserahkan kepada provinsi, sementara kabupaten yang dekat dan cepat bisa menjangkau lokasi tapi kewenangan itu berubah dengan UU 23 ini. Apakah ini yang diinginkan pemerintah pusat ? Wajar saja nanti kalau pelaku illegal fishing semakin menjadi dan “bersorak-sorak” lantaran aturan ini bisa bebas melakukan pelanggaran hukum dengan menggunakan bom atau bius ikan dalam menangkap ikan, sehingga terumbu karang dan lingkungan akan rusak.
Padahal, kalau kita mengacu pada aturan sebelumnya maka itu sudah sangat bagus sebab setiap kabupaten/kota sudah berhak menangani kasus-kasus pelanggaran hukum di laut dan langsung bisa diproses. Sekarang ini dengan undang-undang 23 tahun 2014, maka kewenangan itu tidak bisa lagi dan semuanya dilimpahkan kepada provinsi. Sementara kita tahu bahwa  wilayah laut Indonesia tergolong luas, sehingga penanganannya juga harus diberikan kabupaten untuk menangani kasus pelanggarannya sendiri. Provinsi cukup memantau atau berpatrolisi sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan.
Bahkan kalau kita lebih cermati lagi undang-undang 23 ini, maka semua bantuan yang pernah diserahkan ke kabupaten/kota akan ditarik kembali ke provinsi. Nah, jika itu yang terjadi maka barang-barang tersebut dimana mau disimpan dan siapa yang mampu mengurusnya. Inilah yang menjadi persoalan, sementara di kabupaten itu tidak ada kerjanya. Bahkan imbasnya lebih jauh dapat mengganggu jabatan struktural di DKP Kabupaten/Kota karena pengawasan dan perizinan ditarik ke provinsi, sehingga bidang pengawasan dan perizinan yang ada sekarang itu bisa hilang karena tidak mungkin lagi diberikan anggaran oleh DPRD kalau tidak ada kegiatannya.
Sementara kewenangan provinsi selama ini akan ditarik juga ke pusat, sehingga ini juga sangat dirasakan pemereintah provinsi karena yang menghasilkan PAD akan diambil alih pusat. Jadi aturan yang ada sekarang ini sudah melenceng dari apa yang didengungkan selama ini untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Padahal itu hanya klise dalam berbagai ucapan sebab tampaknya pemerintah pusat ini terkesan ingin merangkul semua pundi-pundi yang menghasilkan uang.
Bisa dibayangkan kalau ada undang-undang yang dikeluarkan, tidak pernah uji publik atau disosialisasikan tiba-tiba langsung diberlakukan maka masyarakat pasti heran dan kaget atas keputusan tersebut. Padahal, sebagai negara berkembang tentunya pemerintah pusat itu harusnya tidak bisa tergesa-gesa dalam menerapkan suatu aturan atau undang-undang jika belum teruji. Jangan sampai ini bisa mengacaukan sistim pemerintahan di Indonesia yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Bisa dibuatkan aturan kalau aturan itu memang memberikan solusi dan jauh lebih baik dibanding undang-undang terdahulu.
Akan tetapi kalau hanya “mengacaukan” pemerintahan terutama di kabupaten/Kota, maka itu harus dipikirkan. Jangan kita membuat aturan dan mengambil sampel hanya satu daerah saja untuk dipakai secara keseluruhan. Padahal, setiap provinsi karakter fisiknya atau manusianya (adat) berbada sehingga inilah yang harus bisa dipahami oleh penentu kebijakan untuk memutuskan sesuatu demi kepentingan rakyat.
Mudah-mudahan undang-undang 23 tahun 2014 ini bisa ditinjau ulang sebelum banyak resiko yang ditanggung oleh pemerintah sendiri. Jadi aturan jangan langsung diberlakukan sebelum adanya sosialisasi karena itu sangat merepotkan seluruh instasni yang ada di daerah, termasuk provinsi untuk mengurusi semuanya. Semoga !

1 komentar:

  1. setuju sekali...seakan-akan kab/kota tidak punya kekuatan apa2,padahal yg paling dekat dan selalu melakukan pengawasan dan pendampingan adalah DKP di kab/kota...perlu dikaji ulang...

    BalasHapus