Selasa, 05 Februari 2013

Membangun Masyarakat Beradab


CATATAN EDITOR

Sebagai bangsa dan negara, Indonesia mendapat sorotan luas di dunia internasional. Berbagai persoalan bangsa yang tidak terselesaikan di satu sisi, sementara perilaku elit bangsa yang pongah di sisi lain, merupakan realitas yang memalukan. Korupsi tidak hanya menggerogoti ekonomi negara dan memiskinkan rakyat, tetapi juga memangkas akses generasi muda dalam memperoleh hak-haknya, seperti mendapatkan pangan, pendidikan, dan kesehatan yang memadai.

Korupsi merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai-sampai institusi yang paling “agung” semacam Kementrian Agama pun tidak bebas dari korupsi. Bahkan pengadaan Kitab Suci Al-Quran pun menjadi ajang untuk merampok uang rakyat.


Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menunjukkan praktek kehidupan yang bertentangan dengan norma dan etika kehidupan.  Ternyata praktek di masyarakat adalah bentuk lain dari meniru atau melawan dominasi elit. Elit di jaman reformasi saat ini lebih lebih sadis dibanding jaman orde baru.

Negara ini tidak bisa disebut demokratis, karena demokrasi prosedural yang dianut hanya melahirkan perampok di berbagai institusi negara dan kemudian semakin memiskinkan rakyat banyak.
*****
Para ahli di berbagai belahan dunia telah melakukan penelitian mengenai perilaku manusia-manusia di negara-negara yang dipimpin secara totaliter, fasis, dan tidak demokratis, memukan bahwa perusakan fasilitas publik atau milik negara oleh rakyat adalah sesuatu yang umum.

Salah satu ahli, Edmund Mokrzycki yang meneliti warga negara Uni Sovyet (sebelum runtuh), menyebutkan bahwa suatu bangsa yang diperintah secara totaliter dalam waktu yang lama akan mengembangkan perilaku yang khas yang disebutnya homo sovieticus (manusia Soviet) (Rakhmat, 1999). Ciri utama homo sovieticus ditandai dengan kepribadian yang terpecah semacam schizophrenia (orang yang memiliki kepribadian ganda, yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri). Homo sovieticus mempunyai dua kepribadian atau dua wajah : wajah dihadapan orang banyak (publik) dan wajah untuk diri sendiri dan keluarga terdekat (privat). Dua kepribadian ini bisa berbeda sangat jauh.

Sebuah penelitian di Polandia yang dilakukan setelah pergantian kekuasan dari rezim otoriter ke demokratis menggambarkan perilaku orang-orang Polandia sebagai manusia berkepribadian terpecah sebagai ciri utama homo sovieticus. Perilaku orang-orang Polandia ini mirip dengan perilaku orang-orang Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai saat ini.

Marody peneliti tersebut menjelaskan bahwa orang-orang Polandia mempunyai sikap yang sangat berbeda terhadap pekerjaan. Kalau mereka bekerja di perusahaan-perusahaan negara, mereka itu lalai, tidak efisien, dan sering bolos. Tetapi kalau bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, mereka akan berdisiplin, bekerja keras, dan sangat rajin. Jika bekerja di luar negeri, orang Polandia juga sangat rajin. Tetapi, kalau bekerja di dalam negeri, mereka lebih banyak bolos, tidak efisien. Selain itu, dalam ranah publik, di hadapan orang banyak, para pekerja itu sering lamban mengambil keputusan, suka melemparkan tanggungjawab kepada yang lain, dan mementingkan kepentingan sendiri (egois).  Sebaliknya, jika mereka bekerja untuk dirinya sendiri, mereka memiliki insiatif, inovatif, dan siap memikul resiko untuk bertanggung jawab.

Pribadi terbelah dari orang-orang Polandia itu sama dengan pribadi orang-orang Indonesia. Sudah umum cerita tentang pegawai negeri yang malas bekerja dan tidak efisien. Semetara itu, proyek-proyek pemerintah yang dikerjakan oleh swasta sudah pasti asal-asalan, yang penting selesai. Pegawai negeri ini kalau pindah bekerja untuk lembaga-lembaga donor atau perusahaan asing, mereka akan bekerja keras dan sangat efisien. Demikian pula, pengusaha yang mengerjakan proyek-proyek asing, akan dikerjakan sangat serius dan tepat waktu.

Umumnya orang-orang seperti itu tidak menghormati miliki negara atau milik publik. Kita dapat saksikan fasilitas publik (public property) tidak hanya dicoret dan dikotori, tetapi juga dirusak dan dicuri. Tetapi orang-orang ini menjaga dengan baik apa yang menjadi hak milik mereka.  Di masyarakat, merusak dan mencuri fasilitas publik atau milik negara dianggap biasa, tidak ada hambatan moral, bahkan seperti disetujui dan dianjurkan. Orang menganggap biasa saja ketika melihat orang mengangkut kursi di sebuah terminal (milik publik), tetapi pencuri sapi tidak hanya dikecam, namun benar-benar dibakar warga.

Perilaku merusak, mengotori, dan mengambil barang-barang yang merupakan milik negara atau fasilitasi publik ini seperti ini menjadi kesepakatan bersama, tidak membedakan kelas sosial, dan dianggap biasa saja.

Seorang peneliti lain, Stanislaw Ossowski, menyebut pribadi tersebut sebagai sindrom liliput. Sindrom liliput dalam cerita Gulliver and the Dwarves ialah orang-orang kecil yang berhadapan dengan orang-orang besar (Rakhmat, 1999). Di negara totaliter dan negara demokrasi jadi-jadian seperti Indonesia, rakyat adalah makhluk kecil yang berhadapan dengan kekuasaan yang sangat dahsyat.

Karena itu, rakyat mengembangkan sejenis kepribadian untuk beradaptasi dengan kekuasaan yang meraka hadapi.  Caranya, antara lain dengan merusak atau mencuri barang milik publik atau negara, sebagaimana pejabat-pejabat mencuri (merampok/korupsi) hak-hak rakyat. Maka orang-orang Indonesia—sebagaimana orang-orang Polandia—menjadi bangsa maling. Pejabat tinggi malingnya lebih tinggi dan lebih banyak dan pejabat rendah malingnya tentu lebih rendah dan lebih sedikit.  Yang paling kasihan adalah mereka yang tidak mempunyai jabatan sehingga selalu menjadi korban maling-maling besar. Korbannya muncul dengan bermacam wajah : kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, ketelantaran, gelandangan, pengemis, dan sebagainya.

Pribadi manusia homo sovieticus yang ada di Rusia, Polandia, dan negara-negara yang terlalu lama dikuasai oleh rezim totaliter dan otoriter tidak berbeda. Di Indonesia, selama 32 tahun dikuasai rezim  otoriter-fasis Orde Baru melahirkan manusia yang juga mirip dengan manusia Rusia dan Polandia, yang oleh Jalaluddin Rakhmat disebut homo orbaicus (manusia orba, dari kata “orde baru”).

Saat ini bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa maling (pencuri/korupsi). Itulah manusia homo orbaicus. Namun, terdapat perbedaan antara homo sovieticus dan homo orbaicus. Homo sovieticus adalah manusia komunis yang ateis, bahkan di era kekuasaan totaliter komunis, semua penganut agama ditekan habis-habisan. Sedangkan homo orbaicus adalah orang-orang beragama yang rajin beribadah : benar-benar berkepribadian ganda.

Buku ini merupakan respon terhadap beberapa masalah terkait dengan semakin tidak beradabnya manusia di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar