Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di tanah air dan khususnya yang berdomisili di daerah pesisir, maka pemerintah
pun tidak henti-hentinya merancang atau membuat peraturan guna meminimalkan
kemiskinan di tanah air. Betapa tidak, jika saat ini banyak masyarakat yang
terkesan hidupnya pas-pasan sehingga kebutuhan keluarganya terkadang sangat
sulit dipenuhi, meski mereka bekerja sekuat tenaga.
Wajarlah jika pemerintah membuat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dimana kewenangan
sudah diataur sedemikian rupa, sehingga peraturan ini dianggap cukup membuat masyarakat
awam kembali “bingung”. Apalagi undang-undangnya tidak pernah diuji publik/disosialisasikan
sehingga keraguannya pun cukup membuat “resah” untuk memberikan atau berpihak
kepada masyarakat kecil.
Salah satu contoh masyarakat pesisir
yang memiliki kapal atau alat tangkap yang bermesin di atas 5 – 30 Gross Tonase (GT) itu pengurusan izinnya
harus di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi, sementara dibawah 5 GT
hanya surat tanda daftar. Olehnya itu, kewenangan provinsi yang mengambil alih
pengurusan izin yang selama ini ditangani oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten/Kota (instansi yang ditunjuk) dan sekarang semuanya harus di
provinsi.
Mencermati Undang-Undang 23 ini
merupakan salah satu aturan yang tergolong “menyesatkan” dan sangat tidak
memberikan solusi atau tidak berpihak kepada masyarakat kecil lantaran pengurusan
izinnya terlalu jauh dari lokasi pemilik kapal. Bisa dibayangkan kalau di
Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Luwu Utara ada nelayan yang ingin
melengkapi surat kapalnya dengan mengurus izin di Provinsi, itu berarti selain
membuang-buang waktu, tenaga dan biaya, sementara ada dinas di kabupaten yang
dekat dengan nelayan. Jangankan di Provinsi, di kabupaten saja nelayan ini jarang
berkunjung secara langsung ke dinas, tetapi mereka menitipkan atau meminta
bantuan kepada orang lain.
Begitupula di provinsi, pasti biayanya
besar karena memakai jasa orang lain untuk mengurus izin yang seharusnya bisa
ditangani oleh kabupaten. Aturan semacam ini bukannya memudahkan masyarakat
tapi malah lebih mempersulit masyarakat. Hal ini sangat disayangkan karena aturan
yang selama ini sudah berjalan dengan baik dan tidak ada masalah, tapi kenapa
dibuatkan aturan yang berbelit-belit lagi sementara argumennya selalu ingin
membantu masyarakat kecil, tapi kenyataannya di lapangan sangat jauh berbeda.
Belum lagi dengan sistim pengawasan di
laut yang kesemuanya ditarik ke provinsi. Jika kewenangan provinsi dalam
melakukan penjagaan tergolong luas sehingga ini juga menjadi problem di
lapangan. Sebab jika terjadi pelaku illegal
fishing di kepualauan misalnya di Kabupaten Selayar, maka yang harus
bertindak adalah pengawas dari DKP Sulsel. Jadi baru orang bergerak dari
Makassar menuju Selayar, pelaku illegal
fishing ini sudah melarikan diri. Jadi bagaimana penegakan hukum di laut
bisa efektif kalau semuanya diserahkan kepada provinsi, sementara kabupaten
yang dekat dan cepat bisa menjangkau lokasi tapi kewenangan itu berubah dengan
UU 23 ini. Apakah ini yang diinginkan pemerintah pusat ? Wajar saja nanti kalau
pelaku illegal fishing semakin menjadi
dan “bersorak-sorak” lantaran aturan ini bisa bebas melakukan pelanggaran hukum
dengan menggunakan bom atau bius ikan dalam menangkap ikan, sehingga terumbu
karang dan lingkungan akan rusak.
Padahal, kalau kita mengacu pada aturan
sebelumnya maka itu sudah sangat bagus sebab setiap kabupaten/kota sudah berhak
menangani kasus-kasus pelanggaran hukum di laut dan langsung bisa diproses.
Sekarang ini dengan undang-undang 23 tahun 2014, maka kewenangan itu tidak bisa
lagi dan semuanya dilimpahkan kepada provinsi. Sementara kita tahu bahwa wilayah laut Indonesia tergolong luas,
sehingga penanganannya juga harus diberikan kabupaten untuk menangani kasus
pelanggarannya sendiri. Provinsi cukup memantau atau berpatrolisi sesuai dengan
batas-batas yang telah ditentukan.
Bahkan kalau kita lebih cermati lagi
undang-undang 23 ini, maka semua bantuan yang pernah diserahkan ke kabupaten/kota
akan ditarik kembali ke provinsi. Nah, jika itu yang terjadi maka barang-barang
tersebut dimana mau disimpan dan siapa yang mampu mengurusnya. Inilah yang menjadi
persoalan, sementara di kabupaten itu tidak ada kerjanya. Bahkan imbasnya lebih
jauh dapat mengganggu jabatan struktural di DKP Kabupaten/Kota karena
pengawasan dan perizinan ditarik ke provinsi, sehingga bidang pengawasan dan
perizinan yang ada sekarang itu bisa hilang karena tidak mungkin lagi diberikan
anggaran oleh DPRD kalau tidak ada kegiatannya.
Sementara kewenangan provinsi selama ini
akan ditarik juga ke pusat, sehingga ini juga sangat dirasakan pemereintah
provinsi karena yang menghasilkan PAD akan diambil alih pusat. Jadi aturan yang
ada sekarang ini sudah melenceng dari apa yang didengungkan selama ini untuk
memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Padahal itu hanya klise dalam berbagai
ucapan sebab tampaknya pemerintah pusat ini terkesan ingin merangkul semua
pundi-pundi yang menghasilkan uang.
Bisa dibayangkan kalau ada undang-undang
yang dikeluarkan, tidak pernah uji publik atau disosialisasikan tiba-tiba
langsung diberlakukan maka masyarakat pasti heran dan kaget atas keputusan
tersebut. Padahal, sebagai negara berkembang tentunya pemerintah pusat itu
harusnya tidak bisa tergesa-gesa dalam menerapkan suatu aturan atau undang-undang
jika belum teruji. Jangan sampai ini bisa mengacaukan sistim pemerintahan di
Indonesia yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Bisa dibuatkan aturan
kalau aturan itu memang memberikan solusi dan jauh lebih baik dibanding
undang-undang terdahulu.
Akan tetapi kalau hanya “mengacaukan”
pemerintahan terutama di kabupaten/Kota, maka itu harus dipikirkan. Jangan kita
membuat aturan dan mengambil sampel hanya satu daerah saja untuk dipakai secara
keseluruhan. Padahal, setiap provinsi karakter fisiknya atau manusianya (adat) berbada
sehingga inilah yang harus bisa dipahami oleh penentu kebijakan untuk
memutuskan sesuatu demi kepentingan rakyat.
Mudah-mudahan undang-undang 23 tahun
2014 ini bisa ditinjau ulang sebelum banyak resiko yang ditanggung oleh
pemerintah sendiri. Jadi aturan jangan langsung diberlakukan sebelum adanya
sosialisasi karena itu sangat merepotkan seluruh instasni yang ada di daerah, termasuk
provinsi untuk mengurusi semuanya. Semoga !
setuju sekali...seakan-akan kab/kota tidak punya kekuatan apa2,padahal yg paling dekat dan selalu melakukan pengawasan dan pendampingan adalah DKP di kab/kota...perlu dikaji ulang...
BalasHapus