Selasa, 01 Desember 2015

Jika Aturan Memiskinkan Nelayan (Catatan tentang UU 23 Th 2014)



Setiap warga negara selalu mendambakan adanya perbaikan ekonomi sehingga kebutuhan rumah tangganya dapat terpenuhi. Apalagi saat perekonomian di tanah air tergolong biasa-biasa saja. Meski banyak yang beranggapan bahwa pemerintah selalu ingin melihat masyarakatnya hidup serba berkecukupan atau perekonomian mereka meningkat. Tidak salah jika pemerintah selalu ingin meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga pemerintah pun berupaya untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara menuangkan peraturan atau Undang-Undang guna memberikan yang terbaik.
Seperti halnya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang diyakini dapat memberikan yang terbaik kepada masyaarakat. Apalagi kalau kita menyimak pasal 31 ayat (2) yang berbunyi penataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk; (a). mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, (b). mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, (c). mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, (d). meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, (e). meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah, (f) memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah.

Jadi peningkatan kesejahteraan masyarakat memang itu yang didambakan semua orang terutama warga pesisir yang pekerjaannya menangkap ikan di laut. Penangkapan ikan pun tidak bisa terlalu jauh keluar karena keterbatasan kemampuan armada kapal. Sebab selama ini kapal nelayan itu lebih banyak yang berukuran dibawah  5 Gross Tonase (GT), sehingga ini yang menjadi salah satu kendala. Sebab nelayan di daerah pesisir tergolong terbatas dalam kemapuan untuk mengadakan kapal. Sementara bantaun dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi juga sangat terbatas.
Berdasarkan data dari DKP Sulsel Jumlah nelayan tercatat sebanyak 33.377 RTP atau sekitar 166.885 orang yang mengoperasikan armada penangkapan sebanyak 32.836 unit terdiri dari kapal motor ukuran 30 – 50 GT sebanyak 16  unit, ukuran 20 – 30 GT 27 unit, ukuran 10 – 20 GT 151 unit, ukuran 5 – 10 GT 1.169 Unit, ukuran 0 – 5 GT 3.906 Unit, Motor Tempel 7.789 unit dan Perahu Tanpa Motor 27.644 unit. Komposisi armada tersebut menunjukkan bahwa struktur nelayan pengelola didaerah ini didominasi oleh nelayan kecil dengan kemampuan operasi terbatas disektor perairan pantai.
Wajar saja jika masyarakat pesisir ini masih terkesan atau identik dengan masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Sebab melihat alat yang digunakannya itu terbatas. Belum lagi undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah dan langsung diberlakukan tanpa adanya uji publik dan sosialisasi ke masyarakat, sehingga ini yang membingunkan warga. Wajar saja jika pelaksanaan undang-undang ini sangat disayangkan oleh semua pihak karena khusus bab atau pasal-pasal yang tertuang didalamnya menyangkut perikanan dan kelautan itu sangat tidak memihak kepada masyarakat.
Bisa dibayangkan kalau penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran 5 - 30 GT izinnya diterbitkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi. Nah, kalau itu diberlakukan maka wajar saja kalau kita katakan bahwa peraturan itu memiskinkan nelayan sebab mengurus surat izin kapal saja sangat jauh  dari lokasi, sementara ada dinas kelautan dan perikanan di Kabupaten/Kota. Nah, ini yang menjadi persoalan karena tidak semua pemilik kapal itu mampu mengurus kelengkapan izin kapalnya. Kalau seperti itu berarti bukannya pemerintah semakin mendekatkan diri kepada masyarakat, tapi sebaliknya malah semakin menjauh dan membuat masyarakat nelayan semakin “menderita”. Sebab tidak sebanding kalau hanya memiliki kapal 5 GT tapi izin operasionalnnya diambil di Provinsi. Jadi pasti ada pihak ketiga dalam hal ini untuk membantu menguruskan surat-suratnya sehingga itu membutuhkan jasa  orang lain.
Olehnya itu, masyarakat yang bedomisili di daerah siap-siap untuk menambah biaya pengurusan izin kapal karena aturan tersebut sudah menghendaki semua kapal milik nelayan di atas 5 GT harus diurus di provinsi.  Sementara di atas 30 GT harus diurus di Jakarta. Inilah yang harus dipikirkan karena pengusaha dan nelayan kecil ini semakin terjepit lantaran undang-undang yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Kesannya bahwa peraturan ini dibuat hanya untuk memperkaya orang-orang pusat karena semua kewenangan kabupaten kota di daerah akan ditarik semua ke provinsi, begitupula dengan provinsi semuanya ditarik ke pusat. Jadi bantuan kapal untuk nelayan dari provinsi akan diambil alih kembali provinsi. Nah, pertanyaannya kapal tersebut dimana akan disimpan ? siapa yang akan merawatnya? Apakah ini tidak memberatkan masyarakat sebab bantuan itu digunakan untuk nelayan sebab sudah dipakai untuk menangkap ikan tiba-tiba ditarik kembali.  Kalau semua bantuan itu ditarik ke provinsi maka puluhan kapal ada di provinsi, Cuma tempatnya yang jadi maslah dan lama kelamaan akan rusak juga kalau tidak dimanfaatkan.
Memang diakui bahwa nelayan yang ada di kabupaten tidak terikat lagi dengan jarak dari pesisir pantai. Sebab dulu kewenangan kabupaten hanya 4 mil ke luar, jadi nelayan yang melewati batas tersebut harus mengambil izin kembali di daerah dimana mereka berlabuh. Sekarang ini kewenangan  provinsi tetap 12 mil dan semua nelayan yang melintas kabupaten tidak perlu lagi mengambil izin di kabupaten lain. Tapi karena pemberian izinnya yang menjadi masalah sebab izin diambil di provinsi. Jangankan di provinsi, di kabupaten saja masih banyak nelayan yang belum pernah menginjakkan kakinya di dinas kabupaten untuk mengurus izin, terlebih jika dialihkan ke provinsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar