Selasa, 01 Desember 2015

Menjaring Pemilih Pemula dalam Pilkada



Pesta demokrasi tidak lama lagi akan digelar. Bahkan pemilukada yang dihelat secara serentak ini pada sebelas kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel) bakal membuat para calon memutar otak untuk memenangkan pilkada. Betapa tidak, jika semua kontestan ini merasa di atas angin lantaran simpul-simpul suara sudah dikunjungi untuk melakukan kampanye dan bahkan sudah mendapat apresiasi dari masyarakat terutama para tokoh masyarakat itu sendiri, sehingga wajar jika mereka merasa yakin akan bisa meraih apa yang dicita-citakan.
Mereka semua merasa yakin bahwa dengan adanya dukungan tokoh masyarakat pada dirinya itu membuat lebih percaya diri. Akan tetapi perlu diketahui bahwa tokoh masyarakat ini yang berkunjung di daerahnya semuanya diterima dan diperlakukan dengan baik, tinggal bagaimana keputusan akhirnya itu yang harus diperhatikan. Karena tidak semua kantong-kantong suara itu bisa dipercaya seratus persen dukungannya kepada salah satu kandidat.
Meski diakui bahwa diantara kantong-kantong  suara yang mereka datangi itu, masih terdapat kantong suara yang tidak kalah hebatnya yaitu pemilih pemula. Pemilih pemula ini harus diperhitungkan karena suara pada pemilih pemula itu juga sangat menentukan kemenagan salah satu calon. Wajar saja jika para kandidat ini juga memburuh ataukah bisa menjaring agar suara bisa bertambah. Sebab banyak anak remaja yang pertama kali melakukan penjoblosan, jadi selain harus diberi pemahaman yang matang juga harus diyakinkan bahwa itulah pilihannya.
Akan tetapi perlu juga diingat bahwa pemilih pemula itu bukanlah orang yang tidak paham akan pemilukada ini, tapi malah dia tergolong pemilih cerdas yang mampu membaca siapa-siapa yang pantas didukung untuk menduduki kursi nomor satu di daerah masing-masing. Olehnya itu, para kandidat ini tidak perlu juga buru-buru dalam mengklaim suara pada daerah-daerah tertentu, karena politik itu sangat susah dipastikan dan kata pasti memang tidak ditemukan di dalam pilkada. Meski itu daerah atau basis massa salah satu calon, tapi itu juga bukan suatu jaminan yang pasti sebagai pendukung atau menunjuknya. Sebab masih banyak pertimbangan yang harus dilalui. Terlebih dengan adanya suhu politik yang semakin tinggi mendekati penjoblosan sehingga suara masyarakat itu susah diprediksi siapa yang mereka dukung.
Belum lagi kalau cara melakukan sosialisasi atau kampanye  di daerah-daerah terutama di daerah terpencil kurang memuaskan masyarakat, sehingga ini juga bisa menjadi boomerang tersendiri bagi calon bupati/calon wakil bupati sebab kebanyakan para calon itu memberikan janji manis saat kampanye. Tapi setelah duduk atau terpilih nantinya menjadi orang nomor satu daerah tersebut, maka janji itu hanya sebatas janji tanpa bisa dipenuhi. Wajar saja jika sekarang ini banyak masyarakat yang selalu waspada dan menunggu sesuatu dari para calon bupati dan calon wakil bupati ini. Sebab melihat kenyataan di lapangan bahwa kebanyakan calon hanya mengucapkan janji yang manis dimulut, sehingga masyarakat meresapi ucapan tersebut dan membayangkan betapa enaknya jika janji itu benar-benar terwujud, tapi apa lacur setelah ia pergi dan duduk menjadi penguasa, maka janjinya itu dilupakan begitu saja. Ibarat kacang lupa kulitnya sehingga masyarakat sekarang banyak yang tidak mau lagi tertipu dengan janji manis para pelaku politik ini.
Tidak heran jika masyarakat yang sudah “disalimi” dengan kalimat yang manis, maka mereka selalu waspada dan menunggu apa bantuan dari calon tersebut. Wajar juga jika mereka selalu melihat adanya bantuan dari para calon, meski itu tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan suara yang disumbangkan kepada kandidat ini, tapi itulah kenyataan di lapangan bahwa masyarakat sudah menjadi rahasia umum kalau menunggu “bingkisan” dari calon. Tidak heran jika sekarang ini selalu terungkap bahwa jangan melakukan many politic terhadap masyarakat, tapi apa mau dikata kalau memang masyarakat juga yang menghendaki sehingga itu tetap terjadi. Wajar saja jika banyak calon melakukan berbagai cara untuk merebut hati rakyat demi untuk mendukung dirinya menjadi bupati.
Apalagi kalau orang tersebut bukanlah suatu figure yang diakui oleh masyarakat sehingga memang mengandalkan uang untuk menduduki jabatan tersebut. jika dilihat kapasitasnya sebagai calon bupati dan calon wakil bupati dimana adu argumentasi alias debat calon yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-maisng daerah, jelas terlihat bahwa kebanyakana kandidat itu menjawab atau melontarkan kalimat yang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan pemandu bahkan harapan masyarakat pun tidak terwakili. Bukan hanya itu, tapi juga mereka tidak paham akan dikemanakan daerahnya nanti setelah mereka terpilih. Wajar saja jika uang sebagai “raja dunia” selalu menjadi ujung tombak dalam berbicara untuk meraih simpati masyarakat agar mereka mulus menduduki kursi empuk.
Berbeda jika memang calon tersebut adalah figure atau calon pemimpim yang dicintai dan disukai masyarakat, sebab figure tersebut selain pintar dan cerdas juga mampu merangkul masyarakat sehingga biasanya terpilih tanpa adanya uang. Masyarakat selalu  mendukungnya karena figurnya sudah dikenal dan tahu betul sifat dan prilakunya termasuk bobotnya. Jadi biar tidak diberikan uang sebagai “pelicin” untuk menduduki posisi orang nomor satu di daerah itu, maka mereka tetap ramai-ramai memilihnya karena sudah tahu betul siapa yang pantas dipilihnya. Begitupula dengan pemilih pemula yang selalu menjadi rebutan bagi para kontestan. Tidak heran jika pemilih pemula ini harus dijaring guna menambah perolehan suara.
Mudah-mudah pemilih pemula yang terjaring oleh para kandidat ini tidak salah pilih sebab kapan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka sia-sialah sebagai orang yang baru pertama kali melakukan penjoblosan. Semoga apa yang diharapkan semua orang bisa terwujud. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar