Kamis, 23 Juli 2015

Pesisir Itu Bertuan!



Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai pintu gerbang Kawansan Timur Indonesia (KTI) sehingga perhatian banyak orang tertuju ke daerah ini. Wajar saja jika Sulsel menjadi salah satu ikon negara ini di kawasan timur. Apalagi pembangunan semakin digenjot baik fisik maupun SDM dalam rangka meningkatkan pelayanan pada masyarakat.
Bukan hanya itu, tapi juga karena adanya kecintaan akan pembangunan di wilayah pesisir, sehingga orang pun berlomba melakukan penimbunan pesisir. Meski secara tidak sadar bahwa melakukan penimbunan itu merupakan hal yang kurang baik karena dapat merusak ekosistem, sehingga apa pun alasannya untuk menimbun pesisir pantai itu adalah sebuah pengrusakan ekosistem.

Adanya penimbunan pesisir di kawasan pantai ini tentunya memiliki alasan yang kuat sebab tanpa adanya alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, maka itu bisa menjadi problem tersendiri daerah ini. Pasalnya, orang–orang yang menimbun ini mengikuti kehendaknya sendiri tanpa ada kelengkapan berkas dari pemerintah.  Jadi tidak ada alasan bahwa tanah di pesisir pantai itu merupakan tanah tidak “bertuan”, sehingga siapa saja yang mampu menimbun maka itu langsung dilakukannya.
Padahal, kalau berbicara aturan, maka tanah yang tidak bertuan itu adalah milik negara berarti itu sudah bertuan, sehingga orang-orang tidak bisa lagi seenaknya melakukan penimbunan. Sebab negara yang harus mengurusnya. Olehnya itu, pihak pemerintah harusnya tegas dalam menjalankan aturan tersebut. Jangan sampai dianggap tidak bergigi sehingga orang bisa mencaploknya tanpa ada perhatian dari pemerintah.
Melihat gencarnya penimbunan di wilayah pesisir ini maka mau atau tidak mestinya pihak yang berwenang harus bertindak tegas dalam menerapkan aturan tentang pengeloalaan wilayah pesisir.  Sehingga semua orang tahu dan paham bahwa melakaukan penimbunan itu dampaknya sangat besar terhadap organisme yang hidup di dalamnya.
Jangan sampai kita memburuh profit tapi berakibat lebih parah lagi dampaknya pada manusia. sehingga penimbunan pesisir ini harus dihentikan dan tidak dibiarkan berkelanjutan.
Meski diakui bahwa menimbun pesisir itu ada yang diperbolehkan tapi ada juga yang tidak. Jika dipandang lebih banyak masalah yang ditimbulkan jika dilakukan penimbunan maka itu tidak boleh karena daerah pesisir ini merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam serta tempatnya bagi nelayan kecil mencari nafka. Akan tetapi jika penimbunan itu lebih banyak dampak kebaikannya terutama dinikmati rakyat kecil itu bisa saja, tapi kalau merujuk pada aturan tentang zonasi wilayah pesisir itu tetap tidak diperbolehkan.
 Sebab selain sebagai tempat hidupnya organisme juga sebagai tempat nelayan mencari nafka. Apalagi nelayan itu dapat diidentikan sebagai orang “termiskin”, sehingga ini perlu diberi tempat untuk mencari nafka demi menyambung hidupnya.
Berdasarkan data dari FAO dimana orang termiskin akut di dunia sebanyak 800 juta orang dari penduduk dunia sebanyak 7 (tujuh) miliar. Namun bila dibandingkan orang kaya maka bisa membiayai dua kali lipat jumlah penduduk dunia yaitu 14 miliar masih mampu diberi makan. Tapi hanya 800 juta orang miskin akut tidak mampu diselesaikan dan itu sudah pasti didalamnya terdapat nelayan yang hidupnya sangat memprihatinkan.
Olehnya itu, melihat daerah-daerah yang memiliki potensi yang cukup untuk memberikan keleluasaan bagi rakyat pesisir tentunya tidak sewenang-wenang dalam membangun dengan dalih membangun itu demi untuk dimanfaatkan kepada masyarakat nantinya. Hal itu tidak mungkin terjadi karena jika bangunan atau tempat perbelanjaan dibangun maka karyawannya belum tentu dari masyarakat yang miskin ini karena berbicara masalah pendidikan.
Kita lihat saja dilapangan bahwa orang miskin ini tidak mampu mengenyam pendidikan sesuai harapan pemerintah, karena dana BOS yang diperuntukkan untuk membiayai pendidikan sepertinya tidak cukup karena masih terksean ada penyalahgunaan di lapangan, sehingga dana itu hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Buktinya, masih banyak anak orang miskin yang tidak melewati bangku sekolah. Padahal seharusnya itu sudah mendapatkan pendidikan gratis. Apalagi pemerintah telah mengalokasikan anggarannya untuk pendidikan gratis.
Jadi wajarlah kalau nelayan ini kehidupannya tetap seperti itu dan tidak ada kemajuan yang berarti. Hal ini menjadi perhatian kita semua. Jangan hanya persoalan sepele saja lalu saling tuding menuding dan tidak ada yang bertanggungjawab. Begitu pula kasus yang dialami oleh pesisir pantai yang menjadi ciri khas Kota Makassar, tapi kini semua itu menjadi hancur karena adanya beberapa bangunan yang menjulang tinggi tanpa bisa dihentikan pembangunannya. Meski tetap melewati proses hukum pemiliknya tapi pembangunannya juga tetap lancar, sehingga ini sama saja kalau terjadi pembohongan publik.
Persoalannya banyak kasus yang masuk dan berproses secara hukum, tapi para tersangkanya tidak ada yang diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya. Bahkan masih ada yang berlenggak lenggok tanpa ada penahanan, padahal itu sudah jelas-jelas bahwa itulah pelakunya tapi penentu kebijakan didalamnya tidak pernah bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Sehingga yang bisa terjerat hukumnya seperti pencuri sandal di masjid, pencuri buah di pasar. Kalau persoalan besar tentunya tidak bisa karena  jaring yang dipakainya adalah jaring laba-laba.
Jika jaring laba-laba yang digunakan dalam memutuskan perkara maka tersangka yang bermodal besar itu tidak akan mampu dijaring karena jaringnya langsung sobek. Coba dilihat kalau pelakunya hanya seekor nyamuk atau orang kecil dan yang dicurinya seperti mangga, mentimun dan sendal tentunya ini bisa dijerat karena tidak mampu melawan.
Olehnya itu, kalau memang persoalan penimbunan pesisir ini mau  diproses secara hukum yang berlaku maka itu tidak boleh ada intervensi dari orang besar, sehingga proses hukumnya bisa berjalan dengan baik.
Mudah-mudahan penimbunan pesisir ini bisa segera diselesaikan oleh yang berwenang, agar masalah ini tidak berlarut-larut lagi demi untuk menyelamatkan wilayah pesisir.  Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar