Kamis, 23 Juli 2015

Benjina dan Perbudakan Nelayan



Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam laut yang sangat melipah, sehingga banyak orang “jatuh cinta” dengan laut Indonesia. Wajar saja jika banyak tamu tak diundang memasuki perairan Indonesia untuk mengeruk sumber daya alamnya terutama ikan. Pasalnya, ikan yang ada di Indonesia itu masih sangat melimpah, sehingga ini perlu dipikirkan untuk dikelolah agar menjadi kekuatan ekonomi bagi masyarakat khususnya yang berdosmisi di daerah pesisir.
Seperti halnya yang terdapat di laut Arafuru dimana ikan-ikan yang ada disitu tergolong sangat banyak dan bahkan terkadang dibuang oleh masyarakat setempat lantaran tidak bisa dimanfaatkan. Meski di daerah tertentu ikan-ikan tergolong mulai sulit ditemukan, namun di Ambon atau NTT ini sangat berlimpah.

Tidak salah memang kalau  potensi yang besar itu sepertinya tidak disentuh oleh pihak yang terkait, sehingga masyarakat luar pun memaanfaatkan wilayah tersebut untuk mengambil ikan-ikan yang ada di daerah tersebut. seperti halnya kasus Benjani yang  sudah menjadi isu nasional lantaran perusahaan asing masuk ke wilayah tersebut untuk menangkap ikan (mencuri Ikan), tapi tidak ada tindakan dari aparat yang berwenang.
Bahkan kasus Benjani ini merupakan salah satu pelanggaran yang sangat serius karena pekerjanya dijadikan budak. Artinya perusahaan PT Pusaka Benjina Resources yang mempekerjakan nelayan ini seperti budak karena hampir tidak ada waktu untuk beristirahat selama 24 jam. Makannya pun hanya ikan atau kepala ikan yang dimasak lalu disantapnya. Padahal, sebagai pekerja seharusnya dijamin makanannya dan kesehatannya, termasuk waktu istirahatnya sehingga semua karyawannya harus diberi jam istirahat.
Akan tetapi di Benjina ini malah sebaliknya, para nelayan atau yang bekerja pada perusahan tersebut hampir tidak ada istiharat, sehingga wajar jika sudah banyak berjatuhan korban karena selain tidak memiliki jam istirahat juga makannya tidak mencukupi bahkan tinggalnya di tengah laut selama berbulan-bulan. Hal ini terjadi lantaran ikan yang ada di situ tergolong banyak, sehingga kapal penangkap ikan setiap saat melakukan pembongkaran di kapal penampung lalu dipotong kepala untuk dikirim ke negara Thailand sebagai bahan baku untuk diolah.
Tidak salah memang kalau Negara Thailand sebagai salah satu pengeskpor hasil olahan ikan yang cukup dikenal. Padahal Thailand mengambil ikan di Indonesia dengan cara mencuri. Meski diketahui bahwa Thailand ini mengambil ikan dari Indonesia lalu tidak ada tindakan dari aparat atau pengawas perikanan, sengaja atau pura-pura tidak mengetahui aksi kejahatan tersebut. Hal itu tidak terlepas dengan adanya “sogokan” yang diberikan oleh perusahan tersebut kepada oknum petugas, sehingga kasus ini tidak terangkat ke permukaan.
Padahal kalau memang mau jujur, jika sogokan dan hasil yang diraup oleh negara luar itu sangat jauh beda. Bahkan bisa mencapai triliunan rupiah. Hal ini perlu adanya ketegasan dalam menerapkan aturan karena masih banyak staf dari instansi terkait yang sering “main kucing-kucingan” dengan pimpinannya.
Hal tersebut yang terjadi di Benjina hingga kini baru terungkap ke permukaan. Padahal kasus tersebut sudah lama terjadi, tapi baru mencuat. Padahal, sebagai petugas dilapangan tidak seorang pun yang lolos dari kegiatan seperti ini jika memang itu diseriusi dalam menengakkan aturan yang telah dibuat. Sebab selama ini “permainan di tengah laut” masih menjadi-jadi. Meski diakui bahwa sudah ada aturan yang telah dijalankannya tapi hanya sebagian kecil dari aturan yang ada.
Bisa dibayangkan, kalau kasus Benjina yang sudah lama ini tapi baru muncul dipermukaan, sehingga ini menjadi perhatian kita semua. Jangan sampai kecolongan lagi dimasa datang.  Hal ini sangat memalukan bagi aparat yang berwenang dibidangnya, sebab banyaknya kasus pencurian atau perbudakan tapi tidak terpantau oleh petugas.
Permasalahan di Pelabuhan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku tidak sebatas hanya pada isu perbudakan. Ada isu yang lebih kompleks, mulai dari dugaan suap, sulitnya akses sehingga minimnya petugas pengawasan. Saat pertama kali terkuak, isu perbudakan yang jadi pembahasan utama. Kantor berita Assosiated Press melakukan investigasi tentang adanya diskriminasi yang diduga dilakukan  PT. Pusaka Benjina Resources dan perusahaan asal Thailand yang terafiliasi dengannya terhadap ABK asal Myanmar, laos dan Kamboja. Diskriminasi itu tidak hanya berupa gaji dan fasilitas yang berbeda dengan WNI Thailand, namun juga perlakukan fisik yang tidak manusiawi. Dari pengakuan puluhan ABK, mereka dipaksa bekerja 22 jam, disiksa menggunakan ekor ikan pari, tak diberi makan layak, hingga ada yang tewas di lautan. (detikNews)
Dari hasil diskusi penulis dengan beberapa teman yang berasal dari NTT, dimana daerah tersebut memang ikannya melimpah. Bahkan satu kapal speed boad saja dipakai memancing hanya dalam tempo 3 (tiga) jam kapal tersebut langsung penuh dengan ikan kakap merah yang berukuran besar. Hal ini menandakan bahwa darah itu sangat kaya akan ikan, namun pemerintah tidak ada kemauan dalam mendirikan pabrik pengolahan.
Sebab pada waktu tertentu ikan ini sangat berlimpah, sehingga perlunya ada tempat penampungan yang disiapkan pemerintah guna menjaga musim ikan. Kalau sudah diolah lalu diekspor tentunya ini bisa berlipat ganda harganya, dibanding kalau hanya dieskpor dalam bentuk bahan baku.
Olehnya itu, kasus Benjina ini menjadi pelajaran bagi kita semua, terutama bagi KKP yang memang memiliki kewenangan dalam memanfaatkan hasil laut baik itu dalam bentuk olahan maupun setegah olahan, sehingga hasilnya pun bisa bersaing dan masyarakat juga dapat merasakan hasilnya. Jangan hanya selalu berfikir untuk mengeskpor dalam bentuk bahan baku, padahal kemampuan untuk mengelolah itu sangat bisa, asalkan dikerja secara profesional. Mudah-mudahan kasus Benjina dan perbudakan nelayan yang dialami masyarakat kecil hilang dari negeri ini. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar