Kamis, 19 Februari 2015

Ketika Masyarakat “Demam” Batu



Akhir-akhir ini, masyarakat memiliki aktifitas tambahan. Meski pekerjaan rutinnya setiap hari tetap dijalankannya. Tapi belakangan ini sebagian warga disibukkan dengan aktifitas tambahan. Pasalnya, warga terlihat sibuk menggosok batu untuk dijadikan sebagai cincin.
Sekarang batu menjadi favorit warga dan dimana-mana ada batu. Jika ada warga yang berkerumun di pinnggir jalan pasti disitu terdapat penjual batu. Sekarang masyarakat terkena “demam” Batu. Meski batu sebelumnya tidak memiliki nilai jual, tapi kini batu itu ibarat “uang” bagi masyarakat.

Tidak heran jika sepanjang jalan perintis kemederakaan terutama di daerah sudiang dan sekitarnya banyak dijumpai penjual batu di pinggir jalan. Ada yang menjual sudah dalam bentuk cicin, adapula yang masih berbentuk bongkahan batu yang siap dibelah-belah. Meski ada juga yang masih setegah jadi alias masih perlu digosok atau digurindah.
Jika dilihat sepintas, warga itu sepertinya hidup di “Zaman Batu”, meski berada di era modern tapi aktifitasnya mengerjakan batu dan batu… walapun kita tahu bahwa dengan membludaknya  batu ini di mana-mana, maka sedikit banyaknya tetap berpengaruh kepada perekomonian masyarakat. Sebab tidak sedikit ada yang membeli batu permata dengan harga jutaan rupiah. Wajar saja jika warga mulai dari anak-anak hingga orang dewasa selalu memegang batu untuk disempurnakan.
Dari hasil perjalanan penulis di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Pangkep tepatnya di Desa Baring Kecamatan Segeri, sungai-sungai yang banyak batu alamnya ditemukan banyak warga yang mengambil batu di sungai tersebut. Bahkan mereka tidak tanggung-tanggung, dia menggali sungai itu untuk mencari jenis batu yang dicarinya. Meski secara tidak sadar bahwa perbuatannya itu merusak lingkungan.
Betapa tidak jika sungai yang tadinya normal, tiba-tiba banyak galian yang besar dan dalam, sehingga masyarakat lainnya yang tidak tahu bahwa ada galian di sungai tersebut bisa saja tenggelam karena tidak disangka airnya dalam. Olehnya itu, diharapkan kepada semua penggemar batu alam ini, jika mencari batu di sungai tidak perlu digali sampai dalam karena dapat membahayakan orang lain. Berbeda jika galiannya itu ditimbun kembali. Tapi kenyataannya tidak ada satu orang pun yang telah menggali sungai itu akan menimbunnya lagi.
Bukan hanya di sungai tapi ditempat-tempat lain seperti di gunung-gunung banyak yang melakukan penggalian batu dan itu sudah pasti pasti bahwa apa yang dilakukan warga ini akan merusak lingkungan. Kalau itu terjadi tentu masyarakat juga yang dapat akibatnya. Untuk itu, diharapkan kepada masyarakat yang penggemar batu agar mengambil batu, tapi lingkungan tetap terjaga sehingga terksean bahwa lingkungan itu tidak pernah terjamah oleh manusia.
Memang diakui bahwa batu alam yang ada sekarang dapat dimodifikasi hingga akhirnya menjadi nilai jual. Lumayan jika satu batu cincin ini harganya Rp 100.000,-. Ada juga di atasnya dan tergantung jenis permatanya. Bahakn penulis menemukan teman batunya ditawar dengan harga Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) tapi tetap tidak mau dilepas. Padahal sudah mau dibayar lunas. Dengan bergairahnya penjualan batu ini maka masyarakat benar-benar bisa meramaikan penjualan batu ini sehingga roda perekonomian di tengah masyarakat pun bergerak naik seiring dengan semakin menjamurnya batu permata ini.
Jika dilihat sepintas, batu yang tadinya hanya penghuni sungai, kini batu tersebut memiliki nilai jual cukup lumayan. Sehingga orang pun berlomba-lomba untuk mencari batu untuk diolah menjadi sebuah cincin permata yang memiliki nilai jual. Meski diakui bahwa ada warga yang tadinya tidak memiliki penghasilan, tapi dengan populernya kembali batu ini, maka warga tersebut langsung bisa berpenghasilan.
Dengan bomingnya batu ini di pasaran, maka wacana pemerintah pun tiba-tiba muncul untuk dikenakan pajak batu. Kalau pajak batu permata atau cincin ini langsung diterapkan maka yakin dan percaya bahwa masyarakat pasti banyak yang tidak mampu dan lambat laun batu ini kembali tidak memiliki nilai jual.
Olehnya itu, diharapkan kepada penentu kebijakan agar tidak terburu-buru dalam menentukan atau menarik pajak dari batu. Sebab masyarakat masih tahap mencari peluang bisnis tapi tiba-tiba masyarakat mau dikenakan pajak. Hal ini berarti bahwa pemerintah itu belum mendukung kegiatan masyarakat ini. Jika warga banyak yang meilirik batu tentunya itu banyak nilai positifnya.
Salah satu contoh bahwa kalau masyarakat sudah gemar dengan batu, maka tentunya ini juga sudah bisa dipastikan bahwa kriminalisasi dan perampokan bisa berkurang, karena yang tadinya tidak ada pekerjaan dan hanya ngobrol dengan teman-temannya yang pada akhirnya bisa berbuat sesuatu yang kurang baik. Tapi dengan adanya kegemaran warga tentang batu ini maka biar malam ataupun siang semunya berbicara batu.
Bertemu dengan dua orang atau lebih langsung membicarakan batu, sehingga pemikiran yang kurang baik itu hilang dari benaknya. Tapi kalau pemerintah langsung mengenakan pajak tentunya masyarakat pasti ada yang berhenti mengerjakan batu dan itu bisa kembali kepada pekerjaannya semula.
Olehnya itu, penggemar batu ini bisa diberikan kesenangan dan happy untuk menikmati batu permata yang dibuatnya sendiri baik untuk dipakai ataupun untuk dijual, sehingga boomingnya tidak langsung redup. Bayangkan saja jika masyarakat yang lagi “demam” batu ini tiba –tiba hilang batunya lantaran ada pajaknya, maka masyaraskat pun tentu merasa kecewa pada pemerintah. Masih banyak sumber pajak yang lain bisa digarap selain pajak batu.
Mudah-mudahan kesukaan masyarakat akan batu ini tidak segera hilang karena biasanya hanya beberapa bulan saja bisa bertahan, apalagi kalau sudah dikenakan pajak. Semoga penggemar batu bisa mengambil batu dari alam dan tidak merusak lingkungan dan perekonomian pun bisa meningkat seiring dengan nilai jual batu yang semakin menggairahkan. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar