PRAKATA PENULIS
Potensi
perikanan Indonesia—laut dan perairan umum/tawar—diperkirakan mencapai 65 juta
ton/tahun yang nilainya dapat mencapai 82.064 juta dollar AS. Dengan potensi
yang begitu besar, sumber daya perikanan merupakan salah satu sektor yang dapat
diandalkan bagi pembangunan bangsa dan negara untuk saat ini dan mendatang.
Bahkan sumber daya laut—hayati dan nonhayati—disebut-sebut sebagai salah satu prime
mover perekonomian Indonesia (Dahuri, 2004).
Tahun 2008 produksi perikanan nasional mencapai 8,6 juta
ton. Produksi akuakultur mencapai 3,5
juta ton dan perikanan tangkap sebesar 5,1 juta ton. Kontribusi perikanan
tangkap sebesar 5,1 juta ton berarti sekitar 83 % perikanan laut Indonesia telah
dieksploitasi jika tolak ukurnya adalah MSY.
Namun jika menggunakan perkiraan TAC maka perikanan laut Indonesia telah
mengalami kelebihan tangkap.
Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan laut yang telah
mencapai 83 % (perkiraan MSY) sebenarnya telah melewati batas maksimal jumlah
ikan yang ditangkap, karena berdasarkan tanggung jawab komitmen internasional
mengenai perikanan yang dibuat FAO dalam CCRF (Code of Conduct for
Responsible Fisheries), hanya sekitar 80 % ikan yang boleh ditangkap. Itu berarti perikanan laut Indonesia telah
ditangkap melebihi 3 % pada tahun 2008.
Karena itu, upaya peningkatan produksi pada perikanan tangkap
mulai dibatasi oleh ketersediaan sumber daya yang dapat ditangkap. Produksi
perikanan dapat ditingkatkan, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri maupun untuk ekspor, melalui usaha budi daya perairan atau akuakultur,
baik air air tawar, payau (tambak) maupun laut.
Potensi lahan yang luas dan beragamnya komoditas budi daya yang dapat
dikembangkan merupakan suatu usaha yang prospektif.
Sementara itu,potensi lahan
akuakultur secara nasional yang telah diketahui mencapai 15,59 juta ha, yang
terdiri atas lahan akuakultur air tawar 2,23 juta ha, akuakultur air payau 1,22
juta ha, dan marikultur 8,37 juta ha.
Luas ini masih sangat kecil, karena potensi lahan secara keseluruhan
diperkirakan mencapai
Luas
lahan untuk budi daya laut (marine culture) mencapai 24 juta ha dengan
potensi produksi 47 juta ton/tahun. Komoditas yang dapat dikembangkan antara
lain ikan kerapu (Cromileptes altivelis, Epinephelus sp, Plectropoma sp),
kakap (Lates calcalifer, Psammoperca waigiensis, Lutjanus sp), beronang
(Siganus sp), bandeng (Chanos chanos), napoleon (Cheilinus
undulatus), kuwe/bobara/lawakan (Caranx sp, Alectis sp, Gnatodon sp),
kuda laut (Hippocampus sp), rumput laut/alga atau seaweeds (Eucheuma
sp, Gracillaria sp, Gelidium sp), tiram mutiara (Pinctada maxima),
kerang (Crassostrea sp, Ostrea sp), kima (Tridacna sp), kerang
hijau (Perna viridis/Mytilus viridis), teripang (Holothuria sp,
Stichopus sp), rajungan (Portunus sp) dan lain-lain. Pada tahun 2003 produksi budi daya laut
sebesar 0,7 juta ton atau baru mencapai 1,5 %.
Luas
lahan pesisir (coastal lands) yang cocok untuk budi daya tambak sekitar
1 juta ha dengan potensi produksi 5 juta ton/tahun, dan baru dimanfaatkan
seluas 0,35 juta ha dengan total produksi sebesar 0,4 juta ton (8 %) pada tahun
2003. Komoditas yang dapat dikembangkan
pada lahan ini antara lain berbagai jenis udang laut (Penaeus sp,
Metapenaeus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap (Lates
calcalifer, Psammoperca waigiensis, Lutjanus sp), kerapu (Cromileptes
altivelis, Epinephelus sp, Plectropomus sp), beronang (Siganus sp),
kepiting bakau (Scylla serrata), rumput laut (Eucheuma sp,
Gracillaria sp, Gelidium sp), dan lain-lain.
Sementara
potensi produksi budi daya perairan umum (air tawar) mencapai 5,7 juta
ton/tahun pada lahan perairan seluas 13,7 juta ha, yang terdiri dari sungai,
danau, waduk, rawa-rawa, dan genangan air lainnya. Pada perairan umum dapat digunakan untuk budi
daya perairan pada kolam, keramba, keramba jaring apung (KJA), sangkar, kolam
tadah hujan, mina padi dan lain-lain.
Pada tahun 2003 baru diproduksi sebesar 0,3 juta (5,5 %) hasil-hasil
perikanan di perairan umum melalui usaha budi daya air tawar.
Komoditas yang dapat dibudidayakan di perairan umum atau air
tawar, baik berupa biota asli di perairan umum Indonesia maupun biota-biota
introduksi yang didatangkan dari berbagai negara. Beberapa komoditas yang merupakan biota asli
di perairan umum Indonesia, seperti baung
(Mystus nemurus), jelawat (Leptobarbus hoevenii), betutu (Oxyeleotris
marmorata), arwana (Scleropages formosus), patin (Pangasius
djambal/Pangasius pangasius), tambakan (Helostoma temmincki), tawes
(Barbodes gonionotus), gabus (Channa striata), toman (Channa
micropeltes), gurami (Osphronemus gouramy), nilem (Osteochilus
hasselti), lele lokal (Clarias batrachus), lele keli (C.
maladerma), udang galah (Macrobrachium rosenbergii), dan puluhan
jenis lainnya masih dalam tahap penelitian.
Sedangkan
jenis-jenis ikan introduksi yang berkembang dengan baik dan menjadi komoditas
penting antara lain ikan mas (Cyprinus carpio), nila (Oreochromis
nilotica), jambal siam (P. sutchi, P. hypopthalmus), lele dumbo (Clarias
gariepinus), bawal air tawar (Colossoma macropomum), karper
rumput/kowan atau grass carp (Ctenopharyngodon idellus), mola
atau silver carp (Hypopthalmichthys molitrix dan H. nobilis),
dan berbagai jenis ikan hias.
Selain
itu, terdapat ratusan jenis ikan hias, baik ikan hias air tawar maupun laut
yang potensial dibudidayakan. Baru
sedikit jenis ikan hias, terutama ikan hias air tawar yang dapat dibenihkan
secara terkontrol.
Biota
air yang dapat dikembangkan sebagai komoditas budi daya, baik biota air tawar
maupun biota laut, jumlahnya masih sangat banyak. Beberapa jenis terancam
punah, sementara teknologi pembudidayaannya belum dikuasai. Misalnya ikan bungo
atau ikan beloso (Glossogobius bungo/G. giuris) yang terdapat di
perairan umum Sulawesi. Ikan ini
merupakan salah satu ikan penting di danau Tempe (Sulawesi Selatan) yang
semakin terdesak karena penangkapan yang intensif, introduksi, dan degradasi
habitatnya (Fauzi, 1999; Tamsil, 2000). Padahal bungo merupakan ikan endemik di
beberapa danau dan sungai di Sulawesi.
Penyu
(turtle) atau biasa disebut juga kura kura laut, tuturuga,atau
hen termasuk hewan yang terancam punah. Enam jenis penyu dari
tujuh jenis yang hidup di dunia, ditemukan di perairan Indonesia, yaitu penyu
sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas),
penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu lekang (Lepidochelys
olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator
depressus). Semua jenis penyu
dilindungi karena populasinya diperkirakan hanya sekitar 250.000 ekor. Hewan purba ini terus ditangkap yang tiap
tahunnya diperkirakan di atas 30.000 ekor. Telurnya pun terus diburu sehingga
dikhawatirkan mempercepat kepunahan hewan ini.
Walaupun
di beberapa lokasi penelurannya secara alami telah dilindungi, namun kehidupan tukik
(anak penyu) setelah menetas masih tergantung pada alam. Upaya pembudidayaan
secara terkontrol belum dilakukan, sementara penangkapan penyu dan pengambilan
telurnya di alam terus berlangsung.
Beberapa
jenis siput yang dilindungi secara hukum, namun terus dieksploitasi adalah
kepala kambing atau taugu (Cassis cornuta), susu bundar atau cege (Trochus
niloticus), siput terompet (Charonia tritotis), dan siput hijau atau
batu laga (Turbo marmuratus). Hewan-hewan ini bernilai ekonomis, baik
dikonsumsi maupun kulitnya dibuat perhiasan. Namun biologi hewan ini belum
banyak diketahui, sehingga upaya-upaya ke arah pembenihan masih jauh.
Meningkatnya
konsumsi ikan masyarakat merupakan salah pasar yang baik untuk pengembangan
sektor perikanan, terutama budi daya perairan.
Pengembangan budi daya perairan, selain dapat menyediakan kebutuhan
konsumsi dalam negeri dan ekspor untuk devisa, juga dapat menekan laju padat
tangkap (over fishing) dan kepunahan spesies (species extinction)
sumber daya perikanan nasional, serta memulihkan stok sumber daya melalui restocking
Kendala
Pengembangan Budi Daya Perairan
Potensi
yang begitu besar memberikan sebuah peluang yang ‘cukup cerah’, namun bukan
berarti tanpa masalah. Sederet kendala
yang menghadang potensi besar ini. Pertama,
sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM di subsektor budi daya—termasuk
perikanan umumnya—masih sangat rendah. SDM yang dihasilkan oleh pendidikan
formal perikanan—sekolah kejuruan dan perguruan tinggi—umumnya meninggalkan
dunia perikanan, dan bekerja di kantor-kantor, yang bahkan tidak terkait
sedikit pun dengan ilmu yang didapatkannya.
Sehingga perikanan budi daya tetap dikelola oleh SDM yang kualitasnya
rendah. Kualitas SDM yang rendah menghasilkan produk budi daya yang kualitasnya
juga rendah, sehingga hanya bisa diserap pasar lokal/pasar rakyat.
Kedua, belum baiknya tata ruang.
Walaupun sudah tersedia sejumlah data tentang potensi wilayah untuk
pengembangan budi daya perairan, para investor mengalami kesulitan ketika
hendak melakukan usaha ini. Belum adanya tata ruang yang memadai yang dapat
dijadikan pegangan oleh berbagai pihak. Sebagai contoh, untuk pengembangan budi
daya tambak, pulau Jawa bukan merupakan wilayah pengembangan berdasarkan lahan
ekosistem mangrove. Namun, sejak
pertengahan tahun 1980-an hingga awal 1990-an, wilayah ini digenjot
habis-habisan untuk budi daya udang windu (Penaeus monodon), yang
menyebabkan hilangnya ekosistem mangrove di berbagai pantai di Jawa.
Contoh
lain, ketika serangan virus herpes koi (koi herpes virus, KHV) menghancurkan
budi daya ikan mas (Cyprinus carpio) di keramba jaring apung (KJA) di
Danau Toba, Gubernur Sumatera Utara, Tengku Rizal Nurdin, mengatakan pemerintah
akan menata kembali pemanfaatan Danau Toba.
Ini adalah bukti kacaunya tata ruang.
Ketiga, penegakan hukum. Tidak tegaknya hukum menjadi persoalan bagi
pengembangan budi daya perairan. Para investor sangat khawatir kehilangan
investasi karena ketidakpastian hukum. Tahun 1999, sebuah perusahan budi daya
mutiara di Kec. Bacan, Maluku Utara, menutup usahanya karena penjarahan.
Ketidakpatuhan
pada hukum menyebabkan serangan virus KHV menjalar ke seluruh Indonesia. Sebelumnya pemerintah sudah melarang
pemasukan ikan mas ke suatu daerah yang belum terinfeksi virus KHV, namun
larangan itu hanya di atas kertas. Tidak
ada tindakan pemusnahan ikan-ikan yang dicurigai berasal dari daerah yang telah
terserang virus tersebut.
Keempat, rendahnya sosialisasi teknologi budi daya. Temuan-temuan
teknologi budi daya perairan dari para ahli di dalam negeri cukup maju, namun
hasil kerja keras bertahun-tahun tersebut hanya mereka yang tahu dan beredar di
antara mereka melalui forum seminar, lokakarya, dan sebagainya. Masyarakat pembudidaya tidak pernah mendengar
dan tahu teknologi tersebut. Seorang teman penulis yang bekerja di Kantor Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan berseloroh, penanggulangan
penyakit udang windu hanya di hotel dan restoran.
Kelima, persaingan global. Negara tetangga terdekat seperti Filipina
dan Thailand cukup maju dalam hal budi daya perairan, apalagi negara-negara
yang sangat maju. Menghadapi
negara-negara tersebut, para pembudidaya di negeri ini harus meghasilkan produk
berkualitas dan dapat bersaing, tidak hanya di pasar internasional, tetapi juga
di pasar nasional. Hasil-hasil perikanan
termasuk komoditas yang diperdagangkan secara bebas, maka Indonesia merupakan
pasar potensial bagi negara-negara lain.
Budi
daya perairan tidak hanya merupakan sebuah potensi yang bisa membawa negara ini
menjadi produsen utama ikan di dunia.
Tetapi juga, bukan tidak mungkin, bila hanya menjadi sesuatu yang
mubazir di negeri ini karena tidak mampu dimanfaatkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar