CATATAN EDITOR
Sebagai bangsa dan negara, Indonesia
mendapat sorotan luas di dunia internasional. Berbagai persoalan bangsa yang
tidak terselesaikan di satu sisi, sementara perilaku elit bangsa yang pongah di
sisi lain, merupakan realitas yang memalukan. Korupsi tidak hanya menggerogoti
ekonomi negara dan memiskinkan rakyat, tetapi juga memangkas akses generasi
muda dalam memperoleh hak-haknya, seperti mendapatkan pangan, pendidikan, dan
kesehatan yang memadai.
Korupsi merusak sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sampai-sampai institusi yang paling “agung” semacam
Kementrian Agama pun tidak bebas dari korupsi. Bahkan pengadaan Kitab Suci
Al-Quran pun menjadi ajang untuk merampok uang rakyat.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
menunjukkan praktek kehidupan yang bertentangan dengan norma dan etika kehidupan.
Ternyata praktek di masyarakat adalah bentuk
lain dari meniru atau melawan dominasi elit. Elit di jaman reformasi saat ini
lebih lebih sadis dibanding jaman orde baru.
Negara ini tidak bisa disebut
demokratis, karena demokrasi prosedural yang dianut hanya melahirkan perampok
di berbagai institusi negara dan kemudian semakin memiskinkan rakyat banyak.
*****
Para
ahli di berbagai belahan dunia telah melakukan penelitian mengenai perilaku
manusia-manusia di negara-negara yang dipimpin secara totaliter, fasis, dan
tidak demokratis, memukan bahwa perusakan fasilitas publik atau milik negara
oleh rakyat adalah sesuatu yang umum.
Salah
satu ahli, Edmund Mokrzycki yang meneliti warga negara Uni Sovyet (sebelum
runtuh), menyebutkan bahwa suatu bangsa yang diperintah secara totaliter dalam
waktu yang lama akan mengembangkan perilaku yang khas yang disebutnya homo
sovieticus (manusia Soviet) (Rakhmat, 1999). Ciri utama homo sovieticus ditandai
dengan kepribadian yang terpecah semacam schizophrenia (orang yang
memiliki kepribadian ganda, yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri).
Homo sovieticus mempunyai dua kepribadian atau dua wajah : wajah dihadapan
orang banyak (publik) dan wajah untuk diri sendiri dan keluarga terdekat
(privat). Dua kepribadian ini bisa berbeda sangat jauh.
Sebuah
penelitian di Polandia yang dilakukan setelah pergantian kekuasan dari rezim
otoriter ke demokratis menggambarkan perilaku orang-orang Polandia sebagai
manusia berkepribadian terpecah sebagai ciri utama homo sovieticus. Perilaku
orang-orang Polandia ini mirip dengan perilaku orang-orang Indonesia sejak
zaman Orde Baru sampai saat ini.
Marody
peneliti tersebut menjelaskan bahwa orang-orang Polandia mempunyai sikap yang
sangat berbeda terhadap pekerjaan. Kalau mereka bekerja di
perusahaan-perusahaan negara, mereka itu lalai, tidak efisien, dan sering
bolos. Tetapi kalau bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, mereka akan
berdisiplin, bekerja keras, dan sangat rajin. Jika bekerja di luar negeri,
orang Polandia juga sangat rajin. Tetapi, kalau bekerja di dalam negeri, mereka
lebih banyak bolos, tidak efisien. Selain itu, dalam ranah publik, di hadapan
orang banyak, para pekerja itu sering lamban mengambil keputusan, suka
melemparkan tanggungjawab kepada yang lain, dan mementingkan kepentingan
sendiri (egois). Sebaliknya, jika
mereka bekerja untuk dirinya sendiri, mereka memiliki insiatif, inovatif, dan
siap memikul resiko untuk bertanggung jawab.
Pribadi
terbelah dari orang-orang Polandia itu sama dengan pribadi orang-orang
Indonesia. Sudah umum cerita tentang pegawai negeri yang malas bekerja dan tidak
efisien. Semetara itu, proyek-proyek pemerintah yang dikerjakan oleh swasta
sudah pasti asal-asalan, yang penting selesai. Pegawai negeri ini kalau pindah
bekerja untuk lembaga-lembaga donor atau perusahaan asing, mereka akan bekerja
keras dan sangat efisien. Demikian pula, pengusaha yang mengerjakan
proyek-proyek asing, akan dikerjakan sangat serius dan tepat waktu.
Umumnya
orang-orang seperti itu tidak menghormati miliki negara atau milik publik. Kita
dapat saksikan fasilitas publik (public property) tidak hanya dicoret
dan dikotori, tetapi juga dirusak dan dicuri. Tetapi orang-orang ini menjaga
dengan baik apa yang menjadi hak milik mereka.
Di masyarakat, merusak dan mencuri fasilitas publik atau milik negara
dianggap biasa, tidak ada hambatan moral, bahkan seperti disetujui dan
dianjurkan. Orang menganggap biasa saja ketika melihat orang mengangkut kursi
di sebuah terminal (milik publik), tetapi pencuri sapi tidak hanya dikecam,
namun benar-benar dibakar warga.
Perilaku
merusak, mengotori, dan mengambil barang-barang yang merupakan milik negara
atau fasilitasi publik ini seperti ini menjadi kesepakatan bersama, tidak
membedakan kelas sosial, dan dianggap biasa saja.
Seorang
peneliti lain, Stanislaw Ossowski, menyebut pribadi tersebut sebagai sindrom
liliput. Sindrom liliput dalam cerita Gulliver and the Dwarves ialah
orang-orang kecil yang berhadapan dengan orang-orang besar (Rakhmat, 1999). Di
negara totaliter dan negara demokrasi jadi-jadian seperti Indonesia, rakyat
adalah makhluk kecil yang berhadapan dengan kekuasaan yang sangat dahsyat.
Karena
itu, rakyat mengembangkan sejenis kepribadian untuk beradaptasi dengan
kekuasaan yang meraka hadapi. Caranya,
antara lain dengan merusak atau mencuri barang milik publik atau negara,
sebagaimana pejabat-pejabat mencuri (merampok/korupsi) hak-hak rakyat. Maka
orang-orang Indonesia—sebagaimana orang-orang Polandia—menjadi bangsa maling.
Pejabat tinggi malingnya lebih tinggi dan lebih banyak dan pejabat rendah
malingnya tentu lebih rendah dan lebih sedikit.
Yang paling kasihan adalah mereka yang tidak mempunyai jabatan sehingga
selalu menjadi korban maling-maling besar. Korbannya muncul dengan bermacam
wajah : kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, ketelantaran, gelandangan, pengemis,
dan sebagainya.
Pribadi
manusia homo sovieticus yang ada di Rusia, Polandia, dan negara-negara
yang terlalu lama dikuasai oleh rezim totaliter dan otoriter tidak berbeda. Di
Indonesia, selama 32 tahun dikuasai rezim
otoriter-fasis Orde Baru melahirkan manusia yang juga mirip dengan
manusia Rusia dan Polandia, yang oleh Jalaluddin Rakhmat disebut homo
orbaicus (manusia orba, dari kata “orde baru”).
Saat
ini bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa maling (pencuri/korupsi).
Itulah manusia homo orbaicus. Namun, terdapat perbedaan antara homo
sovieticus dan homo orbaicus. Homo sovieticus adalah manusia komunis
yang ateis, bahkan di era kekuasaan totaliter komunis, semua penganut agama
ditekan habis-habisan. Sedangkan homo orbaicus adalah orang-orang
beragama yang rajin beribadah : benar-benar berkepribadian ganda.
Buku
ini merupakan respon terhadap beberapa masalah terkait dengan semakin tidak
beradabnya manusia di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar