Laut yang ada di
muka bumi ini lebih besar dari pada daratan, sehingga potensi akan sumber daya
alam laut juga sangat melimpah. Tidak heran jika masyarakat yang fokus pada bisnis
hasil laut ini cenderung mengalami peningkatan ekonomi yang tidak bisa terbendung.
Bahkan mereka membuka cabang perusahaan di beberapa tempat, padahal yang ditekuninya
hanya hasil laut.
Hal
tersebut membuktikan bahwa potensi sumberdaya alam laut ini bisa merubah orang
yang tidak mampu menjadi orang yang kaya. Hal itu bukan lagi rahasia umum bagi
pengusaha yang bergerak dalam bidang perikanan. Sehingga wajar saja jika
berbagai sumber daya alam diambilnya, meski sumber daya alam tersebut tergolong
dilarang lantaran sudah diambang kepunahan.
Begitu
pula dengan ikan hiu yang merupakan salah satu dari sekian banyak sumber daya
alam yang ada, maka ikan hiu juga tergolong SDA yang disukai oleh masyarakat
karena bernilai ekonomi tinggi. Meski belum ada larangan mengambil, tapi kalau pengambilan
terus menerus dilakukan tanpa ada upaya untuk menyelamatkan dari penangapan,
maka lambat laun akan habis juga.
Meski
kita tahu bahwa ikan-ikan telah hidup dan hampir tidak pernah berubah selama
lebih dari 400 juta tahun, namun kini keberadaan ikan hiu juga sudah mulai
terancam akibat banyak pemangsa yang selalu memburunya. Bukan dimansga oleh
siapa, tapi manusialah yang menjadi pemangsa yang ditakuti itu karena tidak
bisa berhenti sebelum habis. Padahal ikan hiu ini tergolong salah satu ikan yang
memiliki banyak manfaat di tengah laut sehingga sangat ganjil jika ikan ini
punah dalam waktu beberapa tahun ke depan.
Pengambilan Sirip Hiu
Meski
diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak terkendali ini
sehingga berdampak pada sumber daya alam laut seperti hiu yang selalu diburu
dan ditangkapi untuk diambil siripnya, demi memenuhi bahan baku sup sirip hiu dan barang konsumsi yang
terkait lainnya. Tidak heran jika harga sirip hiu ini mencapai ratusan ribu
dalam sekilonya, wajar saja jika masyarakat yang memburu profit dan tergiur
untuk melakukan penangkapan ikan hiu guna diambil siripnya.
Namun
yang menjadi persoalan disini karena banyaknya ikan hiu yang ditangkap lalu
dipotong siripnya, kemudian ikannya kembali dibuang ke laut tanpa pikir
panjang. Apakah ikan tersebut masih hidup atau tidak lantaran yang diperlukan
disini adalah siripnya saja karena nilai jualnya sangat tinggi.
Produk
yang paling mahal adalah sirip hiu kering, dihargai senilai Rp. 1.000.000,-/kg
dengan kualitas super yaitu sirip hiu yang tingginya 40 cm. Untuk sirip hiu
tingginya 35 - 39 cm dihargai Rp 800.000,-/kg, ukuran 30 - 34 cm seharga Rp
600.000,-/kg, ukuran 25 - 29 cm seharga Rp 450.000,-/kg (Warta Pasar Ikan,
Maret 2009).
Olehnya
itu, tidak heran jika masyarakat selalu memburu ikan ini untuk diambil
siripnya, karena memiliki nilai jual cukup menggiurkan bagi orang-orang yang pemikirannya
hanya profit tanpa melihat sumber daya alam laut yang diambilnya itu. Pasalnya,
hiu yang beberapa tahun terakhir ini sudah menjadi pengambilan secara
besar-besaran lantaran seluruh tubuhnya bernilai uang, sehingga orang-orang
berlomba untuk menangkapnya.
Dimana harga
kulit hiu berkisar Rp 15.000,-/kg, kerupuk kulit hiu dihargai sekitar Rp 120.000,-/kg. Menurut Masroni,
salah seorang pengelola usaha ikan hiu bahwa dari 10 kg kulit ikan hiu basah
yang belum diolah akan menjadi 2 kg kerupuk kulit mentah siap jual, dan jika
diolah menjadi kerupuk kulit matang akan menjadi sekitar 2,5 kg murni tanpa ada
tambahan tepung. Pemasaran awal hanya dilakukan disekitar Mataram dengan sistim
konsinyasi dengan took sebagai oleh-oleh khas Lombok.
Dan sekarang sudah merambah ke beberapa kota
besar seperti Denpasar, Surabaya, Jakarta dan Bandung.
(Warta Pasar Ikan, Maret 2009).
Menurut Asharuddin,
salah seorang pengusaha dalam bisnis ikan hiu bahwa dalam satu hari mengambil 2
- 4 kwintal ikan hiu dengan harga Rp 8.000 – 12.000,-/kg. dagingaya dijadikan
sate sebanyak 2000 - 3000 tusuk yang dijual dengan harga Rp 1.500- 3000/tusuk
tergantung potongan dagingnya. Sate tersebaut dipasarkan ke pasar Fomotong,
Emas Bage, Keru, Aimel dan sebagian wilayah Lombok.
Gigi
dan rahannya dijual sebagai barang kerajinan, dikirim atau diambil pembeli
untuk dipasarkan ke Bali dengan harga Rp
25.000 -100.000,-/buah tergantung besar dan kualaitas. Sedangkan tulang kering
dihargai Rp 15.000,-/kg, tulang punggung
dihargai Rp 5.000,-/kg yang dikrim ke Surabaya dengan kualitas pegiriman 2 ton setiap
bulannya. Sedangkan sentra hiu di
Indonesia adalah di wilayah Bali, Nusa
Tenggara Timur, Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Utara dan
Maluku. (Warta Pasar Ikan, Maret 2009).
Penangkapan tidak Disengaja
Ikan
hiu yang menjadi incaran bagi manusia itu baik sengaja maupun tidak sengaja
menjadi suatu perhatian yang serius mengingat perburuan terus dilakukan,
sehingga kedepan ikan tersebut bisa mengalami kepunahan.
Penangkapan
ikan hiu yang tidak disengaja juga menjadi sutau problem lantaran jumlah yang
tertangkap itu tergolong banyak. Jadi nelayan yang menangkap ikan di laut itu, ikan
hiu bukanlah target utama namun sering menjadi tangkapan yang cukup besar,
sehingga hiu ini perlu adanya kesepamaham dalam menyelamatkan dari ancaman
kepunahan. Pasaalnya, kalau hal tersebut terus berlangsung, meski nelayan bukan
target utamanya tapi tetap terjaring, maka lambat laun akan kurang bahkan
punah.
Kalau
dilihat dari perkembangbiakannya hiu memerlukan waktu yang cukup lama untuk
menjadi dewasa yaitu 25 – 30 tahun baru bisa melakukan reproduksi, dan jumlah
keturunannya sangat sedikit. Dengan demikian, maka hiu ini wajar jika mulai
sekarang dilakukan penyelamatan guna mempertahankan spesies ini. Jangan sampai
punah baru kita pusing lagi untuk mencari bibitnya lantaran manusia itu tidak
ada puasnya demi untuk memburuh keuntungan.
Penelitian
seorang doktor dari Universitas Aberdeen, Skotlandia mengungkapkan bahwa hiu
peka terhadap perubahan gelombang permukaan, dan perubahan suhu. Dengan
kepekaannya ini, hiu sebagai salah satu biota laut yang menempati rantai
makanan paling atas, ternyata mampu mendeteksi badai. Hiu sangat sensitif dalam
mendeteksi perubahan tekanan udara, sehingga gejala awal pembentukan badai dari
perubahan tekanan udara dipermukaan laut dapat ditengarai dari prilaku hewan
tersebut, namun kemampuan hiu tersebut ternyata tidak mampu menyelamatkan
dirinya sendiri dari badai perdagangan sirip hiu.
Oleh
karena itu, nelayan yang sementara melaut sebenarnya diberikan tanda-tanda bila
bahaya badai itu akan datang melalui tingkah laku hiu di laut. Tapi kalau hiu
ini tidak ada lagi berarti tanda atau signal dalam menentukan badai yang bakal
muncul tersbut hilang. Makanya, bagaimana hiu ini dapat diselamatkan guna
menjaga kepunahannya. Apalagi ini merupakan salah satu kekayaan sumber daya
alam laut yang perlu dijaga kelestariannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar