Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
(the largest archipelagic country in the world) dengan wilayah laut yang
lebih luas dari pada daratan, sehingga wajar jika banyak yang berminat untuk
mengambil keuntungan dari sumber daya yang tersedia itu. Bukan hanya petani
nelayan yang memakai alat tangkap secara tradisional, tapi juga nelayan yang
sudah menggunakan alat tangkap yang modern.
Tidak
heran jika luasnya laut yang begitu besar maka tentunya potensi Sumber Daya
Alam (SDA) pun di dalamnya juga
tergolong cukup banyak yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Bila dilihat
dari data yang ada dimana luas laut secara keseluruhan adalah perairan laut
teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2 dan Indonesia juga memiliki hak pengelolaan dan
pemanfaatan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar 2,7 juta km2.
Khusus Sulawesi Selatan
memiliki panjang garis pantai sekitar 1.973,7 km dengan luas perairan laut
45.574,48 km2, yang terdiri dari 3
kawasan yakni Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone, serta memiliki
hamparan pulau-pulau kecil dalam kawasan kepulauan Spermonde. Hal ini merupakan
salah satu potensi yang cukup besar bila dikelola dengan baik, sehingga kedepan
dapat menghasilkan devisa negara yang cukup besar.
Sumber
daya hayati, khususnya perikanan, merupakan salah satu sumber daya penting,
baik untuk produksi pangan, bahan baku industri, obat-obatan, dan lain-lain.
Sumber daya perikanan merupakan sektor ekonomi di mana masyarakat pesisir
bergantung. Karenanya, potensi ini harus
dimanfaatkan secara optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pemasukan devisa negara.
Sayangnya,
nelayan yang merupakan sumber daya manusia (SDM) utama dalam pemanfaatan
sumber daya perikanan pun hidup dalam kondisi yang mengenaskan. Dengan jumlah
nelayan yang diperkirakan 3,5 juta orang, mereka sering disebut sebagai
masyarakat termiskin di antara masyarakat miskin (the poorest of the poor).
Nelayan hidup di desa-desa pesisir dan pulau-pulau yang minim sarana dan
fasilitas publik, sementara mereka harus bekerja keras untuk menyambung hidup
dan memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat kota.
Untuk mendukung semua itu, tentunya
dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Karena mengurus daerah pesisir tidak
seperti mengurus dengan bidang lainnya yang telah ada. Namun, biasanya pemerintah
berkeinginan untuk membangun wilayah pesisir yang dominan masyarakat “miskin”
kata orang-orang, sehingga ini perlu diberikan anggaran yang memadai. Akan
tetapi anggaran itu terkadang tidak bisa disiapkan lantaran penentu kebijakan memiliki
kebiasaan yang baik yaitu suka memotong anggarannya SKPD.
Bahkan ketukan palu terkadang tidak
jatuh akibat belum adanya negosiasi antara pihak SKPD dengan anggota dewan yang
minta potongan persen untuk masuk kantong pribadi. Wajar saja jika wilayah
pesisir terkesan diabaikan lantaran perhatian pemerintah tidak bisa mengarahkan
pekerjaannya ke arah itu sebab anggarannya ditolak. Ironisnya, ada lagi
anggaran yang lolos tapi dinas yang berwenang itu terkadang hanya pelaksananya
saja sementara yang punya kegiatan adalah anggota dewan itu sendiri.
Jadi apalah artinya ada bantuan jika
tidak sepenuhnya diberikan kepada masyarakat bawah yang memang membutuhkan.
Bahkan kalau dilihat masyarakat pesisir yang sudah melakukan budi daya rumput
laut dengan perasaan gembira lantaran hampir semua daerah pesisir sudah
digalakkan membudidayakan rumput laut dengan target satu juta ton. Malah angka
itu telah melebihi atau melampaui target, tapi anggota dewan kembali membuat
ulah dengan memotong anggaran bagi pembudidaya rumput laut dengan alasan tidak
perlu terlalu banyak produksi rumput laut. Padahal, sebelumnya dia sendiri yang
menghendaki untuk menggenjot budi daya rumput laut tersebut khususnya di daerah
ini. Tapi apa lacur itulah yang dialami oleh masyarakat pesisir. Padahal,
rumput laut cukup diminati dan sangat membantu masyarakat pesisir, tapi
kenyataannya bahwa anggota dewan sudah melenceng dari apa yang telah
disepakatinya.
Jadi apalah artinya menggenjot produksi
rumput laut dengan memberikan bantuan kepada petani rumput laut kalau langsung
dikurangi lagi. Sementara petani tersebut sudah mulai berkembang apalagi daerah
ini mau dijadikan sebagai sentra produk rumput laut di dunia. Beginikah
kebijakan anggota dewan sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan anggaran ?
Padahal, kalau kita kaji dan amati
bahwa masyarakat pesisir memang perlu diberikan bantuan akibat adanya stegmen
bahwa masyarakat pesisir itu “identik dengan masyarakat miskin”, sehingga untuk
merubah argumen itu harus diberikan bantuan modal guna dapat meningkatkan kesejahteraan
keluarganya.
Oleh karena itu, anggaran pembagunan
daerah pesisir dan pulau ini perlu ditambahkan dan tidak boleh disunat alias
dipotong. Pasalnya, kalau hal itu tetap dilakukan berarti anggota legislatif
itu membantu alias melepaskan tapi memegang ekornya, sehingga eksekutif tidak
bisa berbuat banyak.
Tidak salah memang jika ada anggapan
bahwa awal mula terjadinya korupsi atau pencurian uang negara di tanah air itu
berasal dari DPR baik di pusat maupun di daerah. Sehingga kebiasaan itu perlu
dirubah dan ditinggalkan, karena kalau cara-cara itu masih tetap dipertahanan
maka negara ini mau dibawa kemana. Sementara dimana-mana selalu digaungkan
pemberantasan korupsi dan bahkan anggota dewan sendiri yang selalu dan ingin
menghapus korupsi di negeri ini, tapi kenyataannya malah DPR yang menjadi kunci
berakhirnya korupsi di Indonesia.
Dengan demikian, maka anggaran yang
diajukan pemerintah melalui pemandangan umum di hadapan DPR perlu mendapat
perhatian yang serius agar apa yang tulis itu perlu diapresiasi guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berdomisli di daerah
pesisir.
Untuk membangunnya perlu
dialokasikan anggaran yang cukup tinggi, sehingga bisa berproduksi yang banyak
asal pengelolaannya dikerjakan dengan baik. karena potensi wilayah pesisir dan pulau
yang dimiliki itu perlu dikelola dengan mengacu pada aturan yang ada sehingga
ekosistem di dalamnya dapat diselamatkan. Sebab banyak yang mengelola wilayah
peisisr tapi asal membangun tanpa memperhatikan aturan yang ada. Salah satu
contoh adalah daerah atau wilayah pesisir yang perlu dibangun guna memberikan
hasil kepada masyarakat. Jangan dirusak hanya karena adanya kepentingan pribadi
didalamnya sehingga semua dikerjakan semaunya.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil pasal 5 dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dan upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Republik
Indonesia.
Oleh
karena itu, dengan tidak adanya penyunatan atau pemotongan anggaran yang
diajukan oleh SKPD itu, maka ke depan masyarakat pesisir dan pulau akan
merasakan dampaknya yaitu kesejahteraannya dapat meningkat seiring dengan
kemauan pemerintah untuk menghapus kemiskinan di Indonesia. Semoga. !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar