Tahun ini (2018) dikenal dengan tahun
politik. Hal tersebut tidak terlepas dengan dihelatnya pilkada di seluruh
Indonesia. Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati diberbagai daerah di tanah
air termasuk di Sulawesi Selatan (Sulsel). Pilkada di Sulsel selain pemilihan
gubernur (pilgub) juga digelar pilkada di beberapa kabupaten/kota sehingga ini
menjadi pesta demokrasi yang semarak. Pasalnya, pilkada yang dilangsungkan
secara serentak ini membuat para kandidat kerja keras untuk mencari simpati
masyarakat.
Betapa tidak, jika para calon pemimpin
di daerah masing-masing yang melaksanakan pilkada tidak terlepas dengan masyarakat.
Hal tersebut terbukti saat para calon gubernur dan wakil gubernur mendaftar di
Komisi Pemilihan Umum (KPU) membawa massanya, sehingga kemacatan pun tidak
terhindarkan. Oleh karena itu, pilkada bakal digelar ini membuat sebagian warga
terpaksa harus bersabar jika perjalanannya melintasi KPU tempat pendaftaran
para calon pemimpin daerah.
Namun, perlu dipahami bahwa para bakal
calon pemimpin itu sebaiknya tidak perlu melibatkan massa karena dapat
mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Meski kita pahami bahwa pendaftaran di
KPU selama ini selalu melibatkan massa, sehingga ini menjadi aturan yang tidak
tertulis bagi masyarakat. Padahal, seorang calon pemimpin tidak perlu
melibatkan massa karena biar bagaimanapun massa tidqk diizinkan masuk semua di
kantor KPU. Jadi apalah artinya membawa massa kalau hanya jadi penonton.
Massa atau masyarakat yang mempunyai
keinginan untuk mengantar calon pemimpin tersebut bisa diurungkan karena hanya
membuang-buang biaya dan tenaga. Sebab hanya sebatas mengantar yang juga belum
tentu serius dalam hal pemilihan. Memang diakui bahwa selama ini banyaknya
massa yang ikut mengantar calon gubenrur, walikota dan bupati itu bukan suatu
jaminan di dalam penjoblosan. Mereka hanya ini berhura-hura dan memperlihatkan
dukungan, tapi belum tentu itu menjadi pilihannya.
Biasa ikut mengantar kalau ada uangnya,
termasuk saat melakukan kampanye. Sebab pengalaman di lapangan dimana calon
yang satu melaksanakan pendaftaran maka masyarakat ikut berbondong-bondong
mengantar. Namun calon yang satunya juga melakukan pendaftaran, maka masyarakat
kembali lagi ikut mengantar dengan calon lainnya. Hal ini membuktikan bahwa ada
masyarakat yang suka ikut dalam meramaikan para calon kandidat ini. Tapi
penentuannya tetap dibilik suara.
Meski mereka rama-ramai ikut mengantar
pada saat pendafataran di KPU tapi itu belum tentu mereka memilihnya. Meski secara
kasat mata mereka adalah pendukungnya, tapi belum tentu itu menjadi jaminan
seratus persen untuk memilihnya. Sebab masyarakat juga sudah pintar menentukan
calon pemimpinnya mana yang pantas dipilih atau tidak. Jadi pendaftaran bakal
calon pemimpin ini sebaiknya tidak melibatkan masyarakat, karena selain
membutuhkan biaya juga dapat menghambat masyarakat lainnya dalam perjalanan
karena macet.
Sebab mendaftar itu tidak butuh orang
banyak lantaran yang bersangkutan langsung masuk kantor KPU dan diterima oleh
pengurusnya. Olehnya itu, bisa diingat
saat mendaftar di sekolah atau perguruan tinggi kan tidak ada yang temani. Jadi
ingatlah waktu mereka berjuang untuk menuntut ilmu, begitu pula kalau ingin
menjadi pemimpin, maka tidak perlu melibatkan orang banyak. Kalau ini dilakukan
oleh para kandidat maka itu menjadi kemajuan dalam pesta demokrasi. Sebab tidak
ada masalah jika para kandidat ini membawa dirinya sendiri dalam melaksanakan
tahapan pemilihan gubernur, walijkota dan bupati.
Jadi para kandidat lebih baik melaksanakan
kewajibannya tanpa melibatkan masyarakat. Walaupun tetap ada masyarakat yang
memaksa untuk ikut tapi bisa dikomunikasikan bahwa tidak perlu ada pengantaran
sebab lebih banyak kurang baiknya dibanding kebaikannya di tengah masyarakat.
Kalau dilakukan tentunya berbeda dengan pemilihan sebelumnya yang sengaja memperlihatkan
massanya pada lawan politiknya. Karena pengerahan massa itu biasanya gengsi dan
ajang penampilan. Sebab mengerahkan massa itu adalah suatu kebanggan tersendiri
bagi yang memiliki massa banyak.
Mengerahkan massa yang banyak merupakan
salah satu prestise bagi calon tertentu. Sebab massa banyak berarti setidaknya
ini mencerminkan bahwa banyak yang suka, meski kenyataannya di lapangan atau penentuan
suara tidak sesuai dengan kenyataan. Wajar saja jika banyak calon kandidat
setelah pemilihan dan kalah merasa menyesal dan termenung lantaran tidak
sebanding dengan saat mendaftar atau kampanye yang massanya sangat banyak, tapi
perolehan suaranya sangat sedikit. Hal inilah yang membuat calon kalah langsung
streses dan tidak sedikit mengalami gangguan jiwa.
Jadi massa bukan akhir segalanya,
sehingga saat pendaftaran seharusnya dirubah itu kebiasaan lama agar kelak
kalau memang kalah dalam pertarungan itu tidak terlalu menyakiti hati. Sebab
secara mental ini bisa membawa kekecewaan yang mendalam. Jadi mulai tahun
politik ini, perubahan calon kandidat ini bisa merubah kebiasaannya untuk tidak
mengerahkan massa dalam pendafataran di KPU.
Semoga pendafataran para calon pemimpin daerah
bisa merubah imej masyarakat, sehingga ke depan tidak lagi banyak membutuhkan
biaya dan menerima kekecewaan. Semoga !
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Penulis Indonesia
Makassar (IPIM) Sulsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar