Meski begal sudah mendapat sorotan dari
berbagai kalangan, sehingga begal ini sudah dianggap sangat meresahkan masyarakat.
Sebab bukan hanya aksinya yang dilakukan di kota tapi juga di pasar-pasar di
kabupaten sehingga ini sangat mengganggu aktifitas masyarakat.
Akan tetapi begal ini tampaknya tidak
akan menyerah dengan aksinya itu, walaupun petugas kepolisian sudah menjaring
beberapa begal yang didominasi oleh pelajar atau anak dibawah umur ini. Mereka
rata-rata melakukan begal hanya untuk besenang-senang. Bahkan ada begal yang didor
akibat melawan petugas. Ironisnya, ada begal merupakan anak dari salah satu dokter
yang ada di Kota Makassar, padahal seharusnya anak tersebut tidak perlu terlibat
dalam kelompok begal karena melihat orang tuanya yang memiliki profesi seorang
dokter.
Tapi apa lacur, begal ini memang
terkesan sangat susah diberantas lantaran yang melakukan begal itu bukan anak
sembarang, tapi orang tuanya tergolong orang berada (mampu) dan bahkan memiliki
pangkat dan jabatan, sehingga untuk memberantasnya itu sangat sulit. Sebab
siapa yang berantas dan siapa yang diberantas, mereka sama-sama anak pejabat.
Jadi begal ini sangat pandai berkelit ketika akan ditangkap. Bahkan mereka
rata-rata memberikan perlawanan sehingga aparat langsung melesatkan tima panas
pada bagian kakinya.
Akan tetapi pemberantasan begal ini
masih seperti itu. Walaupun sudah ada beberapa yang tertangkap tapi tampaknya
bukan suatu halangan untuk melakukan aksi kejahatannya itu. Malah ada begal
yang ditangkap pada pagi harinya, sore hari kembali berkeliaran. Ada apa dengan
begal ? bukankah ini masuk dalam lingkaran setan pemberantasan begal ? kalau
terus seperti yang dilakukan petugas, maka jaminan rasa aman untuk masyarakat
itu terkesan terabaikan, sehingga yang merasakan adalah tetap masyarakar
terutama bagi mahasiswa yang sering pulang malam.
Tidak heran jika masyarakat sudah mulai
gerah dan melakukan pengadilan jalanan untuk mengadili para begal yang tertangkap
basah ini. Memang diakui bahwa masyarakat yang melakukan pengadilan jalanan itu
tidak bisa dihindari lantaran masyarakat sudah resah dengan tindakan para begal
ini dan petugas dianggap kurang mampu “membersihkan” begal secara tuntas
sehingga pegadilan jalan itu muncul secara tidak terduga.
Nah, kalau ini sudah menjadi suatu
pengadilan yang dianggap adil bagi masyarakat, maka begal ini akan mendapatkan
perlawanan keras dari masyarakat. Siapa sangka jika masyarakat sudah melakukan
pengadilan jalanan itu berarti petugas seolah-olah tidak dianggap lagi mampu
mengatasi ketakutan masyarakat ini. Sebab kebanyakan masyarakat yang tidak
bersalah menjadi korban tanpa tahu menahu kesalahannya. Bahkan tidak jarang
melakukan perlawanan untuk mempertahankan barang miliknya tapi mereka tetap
kalah karena begal ini bukan hanya seorang diri tapi paling kurang dua orang
hingga empat orang.
Jadi sangat susah memang kalau untuk
melakukan perlawanan jika hanya sendiri terlebih jika hanya seorang perempuan. Jadi
begal seharusnya tidak diberi ampun. Tidak perlu menengok kebelakang karena
adanya aturan atau undang-undang perlindungan anak. Sebab rata-rata begal
dilepas oleh petugas kepolisian lantaran berlindung pada UU perlindungan anak.
Padahal, kalau memang itu sudah membunuh atau merampok bukan lagi anak-anaknya
yang dilihat tapi prilakunya atau tindakannya yang menghilangkan nyawa
seseorang, sehingga harus diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Akan tetapi petugas tidak bisa berbuat
banyak sebab selain undang-undang perlindungan anak, juga karena kebanyakan
pelaku begal adalah anak pejabat sehingga ini menjadi lingkaran setan
pemberantasan begal. Memang para petinggi sudah menginstruksikan pemberantasan
begal, tapi masih tetap ada yang “main mata” antara petugas dengan para begal,
sehingga hanya ditangkap untuk dilepas tanpa ada beban. Jadi apalah artinya
jaminan keamanan oleh petugas bagi masyarakat kalau begal ini tetap melakukan
aksinya.
Olehnya itu, begal yang selama ini
meresahkan masyarakat seyogyanya petugas benar-benar melakukan pemberantasan
begal tanpa pilih merek atau melihat anak siapa ini. Sebab kalau itu masih
tetap berlaku berarti mereka tidak tuntas dalam menangani begal. Padahal begal
itu selain sudah mencoreng nama baik Kota Makassar juga sudah banyak jatuh
korban. Hal ini harus diperhatikan karena aksi yang kurang terpuji itu selalu
mendapat tanggapan dari berbagai kalangan dan bahkan orang luar Sulsel pun
sudah membicarakan tentang begal ini.
Padahal daerah kita tergolong masih
menganut istiadat yang masih cukup dibanggakan yaitu “Siri Na Pesse”. Tapi
sekarang sepertinya budaya tersebut mulai luntur lantaran banyak anak muda yang
kurang bermoral dalam mengarungi kehidupan ini. Apalagi adanya serangan atau pengaruh
budaya barat sangat gencar sehingga budaya kita sendiri mampu “dirontokkan”
sehingga wajar jika sebagian besar anak muda sudah mulai arogan bagi orang tua
atau yang dituakan. Mereka hanya melihat seperti biasa-biasa saja tanpa ada
penghormatan lagi bagi yang tua.
Nah, disinilah rasa sipakatau ini yang
menjadi problem di tengah masyarakat sehingga begal melakukan aksinya tanpa
rasa malu jika tertangkap. Rasa malu yang dimiliki hanya sedikit saja sehingga
mereka selalu bebuat onar diberbagai kesempatan tanpa pandang bulu. Aksi begal
dilakukan jika ada waktu dan kesempatan tanpa memilih korban. Siapa yang lengah
pasti akan dapat akibatnya, sehingga masyarakat diminta selalu waspada.
Olehnya itu, mari kita sadari bahwa aksi
begal yang dilakukan kelompok remaja ini
sudah melampaui batas prilaku sebagai anak remaja, sehingga harus
diberantas hingga ke akar-akarnya tanpa pilih merek. Jangan ada kesan bahwa
lingkaran setan pemberatsana begal di daerah ini, sehingga begal yang diperangi
oleh warga, tetap memakan korban. Semoga pihak keamanan bisa melakukan pemberantasan
dengan baik agar warga kembali tenang dan tidak ada rasa was-was disetiap
aktivitasnya terutama pada malam hari. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar