Menunaikan ibadah haji di Mekkah
merupakan impian semua ummat muslim di dunia, namun tidak semua impian itu
seketika terwujud. Pasalnya, naik haji bagi warga Negara Indonesia masih jauh
dari harapan karena adanya antrian yang begitu panjang hingga tiba pada gilirannya.
Harapan itu selalu dinanti dan ditunggu bagi orang yang sudah mendaftar tapi
karena keadaan atau aturan yang menghendaki harus antri.
Akan tetapi, setelah tiba gilirannya
untuk berangkat maka bersyukurlah mereka. Namun karena kehendak yang maha kuasa
selalu berkata lain, sehingga jamaah haji tahun ini mendapat musibah. Hal itu
tidak terpikirkan oleh Jamaah Calon Haji (JCH) ketika berada di tanah Suci
Mekah, sehingga dipikirannya mungkin beranggapan bahwa tidak ada musibah yang
terjadi di tanah suci lantaran Allah telah menghindarkannya. Akan tetapi
musibah tersebut tetap ada dan terjadi bagi ummat muslim yang lagi melaksanakan
kewajibannya. Musibah yang pertama adalah jatuhnya Crane yang menelan ratusan
korban jiwa. Sedangkan musibah kedua adalah Tragedi Mina yang juga tidak kalah hebatnya dalam
merenggut nyawa bagi JCH ini.
Meski diketahui bahwa Tragedi Mina kali
ini menelan korban kurang lebih 100 orang akibat adanya kesalahan atau keteledoran
dari petugas kepolisian di Mekah. Ataukah memang jamaah yang bandel dan tidak
mau mengikuti aturan tersebut sehingga mereka menjadi korban.
Memang diakui bahwa tragedi mina sangat
disayangkan oleh semua pihak lantaran tragedi semacam ini sudah pernah terjadi.
Dimana pada tahun 1990 tragedi mina (terowongan mina) juga terjadi yang menelan
ribuan korban jiwa, sehingga ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Akan
tetapi, tragedi mina kembali terulang sehingga ini merupakan pertanda buruk atas
kinerja kepolisian ataukah pertanda bandelnya jamaah haji.
Bahkan
bisa juga sebagai “hukuman” bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji dengan
menggunakan uang yang belum “disucikan” sehingga diberikan peringatan oleh
Tuhan. Hal tersebut bisa saja terjadi lantaran banyaknya antrian jamaah untuk
mendapatkan giliran sehingga mencoba melalui jalan pintas dengan adanya istilah
“pelicin” untuk memuluskan jalannya. Apalagi pemerintahan kita selalu menganut
istilah pelicin bagi yang ingin cepat menunaikan ibadah haji, sehingga semua
urusan bisa dipermak seolah-olah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan
berjalan dengan baik tanpa ketahuan oleh siapapun.
Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang
mutlak tapi kemungkinan besar itu adalah ketidak siapannya petugas atau
kepolisian di Mekkah untuk menerima Tamu Allah ini, sehingga tidak bisa
mengatur jamaah yang mencapai jutaan orang dari seluruh dunia. Meski semua
kloter tetap memiliki pembimbing haji, tapi karena petugasnya terbatas sehingga
sangat susah mengendalikan jamaah yang begitu banyak dan membludak dan
tergesah-gesa ingin melempar sehingga jamaah lainnya tertabrak terutama yang
memiliki postur yang tinggi besar menerobos jamaah lainnya.
Belum lagi adanya petunjuk yang simpang
siur dari kepolisian Arab untuk memberikan petunjuk kepada jamaah calon haji
sehingga mereka terjebak di perempatan jalan. Padahal, kalau memang petugas
benar-benar siap, maka hal tersebut tidak perlu terjadi lagi karena jalan
menuju pelemparan sudah diperlebar dan bahkan katanya bisa menampung jamaah hingga
lima juta orang, sementara jamaah tahun ini hanya dua juta orang, sehingga ini
jauh diluar over kapasitas. Tapi itulah kenyataan yang terjadi, sehingga ini
juga harus menjadi catatan tersendiri bagi kita semua guna mencegah terjadinya
hal-hal yang tidak diinginkan dimasa akan datang.
Sebab jangan sampai tragdi mina ini
masih terulang lagi dimasa datang kalau kesiapan seluruh petugas tidak siap. Sehingga
persoalan kecil saja bisa menyebabkan bencana besar hanya karena dianggap
enteng. Olehnya itu, perlunya ada persiapan yang matang juga adanya pembicaraan
yang serius dan harus dipertegas dengan pihak Arab Saudi lantaran Indonesia
memiliki jumlah jamaah haji terbanyak setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah
haji, sehingga penentu kebijakan harus benar-benar melakukan tugasnya dengan
baik termasuk para petugas haji di lapangan.
Pasalnya, petugas haji ini diharapkan
mampu memberikan petunjuk bagi seluruh jamaah khususnya kloter yang memang
merupakan tanggungjawabnya. Jangan sampai tugas tersebut diabaikan atau kurang
diperhatikan sehingga jamaah haji merasa mengurus dirinya sendiri sehingga
mereka mengambil jalan pintas. Begitupula jamaah yang sok pintar tidak perlu
melakukan kegiatan atau tindakan yang tidak terpuji, meski tahu tapi ikutilah
aturan yang ada. Sebab jika hal itu dilakukan maka bisa saja terjadi perasaan
sombong dan berbangga diri karena merasa
sudah hafal jalannya sehingga mencari jalan pintas, padahal bukan untuk jamaah
Indonesia yang diperuntukkan.
Olehnya itu, kejadian seperti ini
merupakan pelajaran berharga bagi semua pihak sehingga dimasa akan datang tidak
terulang lagi. Sebab sedikit saja berbuat kesalahan akibatnya sangat besar dan
itu bisa terjadi bagi orang yang tidak bersalah. Jadi pengertian dan kesabaran
menjadi kunci utama dalam menjalankan ibadah haji di Mekkah, tidak perlu ada
perasaan hebat diantara jamaah lainnya sehingga satu saja yang berbuat kesalahan,
maka imbasnya bisa terjadi kepada orang lain yang tidak bersalah.
Mudah-mudahan pelaksanaan haji tahun
depan dapat mengambil hikmah dari
tragedi atau musibah yang terjadi di Mekkah, sehingga semua orang mawas
diri tanpa ada rasa kesembongan yang diperlihatkan. Mau atau tidak harus kita
akui bahwa kecerobohan yang dilakukan seseorang bisa berakibat fatal bagi orang
lain, sehingga kesabaran dan ketaatan dalam menjalankan ibadah itu sangat
diperlukan demi untuk mendapatkan haji
mabrur. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar