Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai pintu
gerbang Kawansan Timur Indonesia (KTI) sehingga perhatian banyak orang tertuju
ke daerah ini. Wajar saja jika Sulsel menjadi salah satu ikon negara ini di
kawasan timur. Apalagi pembangunan semakin digenjot baik fisik maupun SDM dalam
rangka meningkatkan pelayanan pada masyarakat.
Bukan hanya itu, tapi juga karena adanya
kecintaan akan pembangunan di wilayah pesisir, sehingga orang pun berlomba melakukan
penimbunan pesisir. Meski secara tidak sadar bahwa melakukan penimbunan itu
merupakan hal yang kurang baik karena dapat merusak ekosistem, sehingga apa pun
alasannya untuk menimbun pesisir pantai itu adalah sebuah pengrusakan
ekosistem.
Adanya penimbunan pesisir di kawasan pantai
ini tentunya memiliki alasan yang kuat sebab tanpa adanya alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan, maka itu bisa menjadi problem tersendiri daerah ini.
Pasalnya, orang–orang yang menimbun ini mengikuti kehendaknya sendiri tanpa ada
kelengkapan berkas dari pemerintah. Jadi
tidak ada alasan bahwa tanah di pesisir pantai itu merupakan tanah tidak “bertuan”,
sehingga siapa saja yang mampu menimbun maka itu langsung dilakukannya.
Padahal, kalau berbicara aturan, maka
tanah yang tidak bertuan itu adalah milik negara berarti itu sudah bertuan,
sehingga orang-orang tidak bisa lagi seenaknya melakukan penimbunan. Sebab negara
yang harus mengurusnya. Olehnya itu, pihak pemerintah harusnya tegas dalam menjalankan
aturan tersebut. Jangan sampai dianggap tidak bergigi sehingga orang bisa
mencaploknya tanpa ada perhatian dari pemerintah.
Melihat gencarnya penimbunan di wilayah
pesisir ini maka mau atau tidak mestinya pihak yang berwenang harus bertindak
tegas dalam menerapkan aturan tentang pengeloalaan wilayah pesisir. Sehingga semua orang tahu dan paham bahwa
melakaukan penimbunan itu dampaknya sangat besar terhadap organisme yang hidup
di dalamnya.
Jangan sampai kita memburuh profit tapi
berakibat lebih parah lagi dampaknya pada manusia. sehingga penimbunan pesisir
ini harus dihentikan dan tidak dibiarkan berkelanjutan.
Meski diakui bahwa menimbun pesisir itu ada
yang diperbolehkan tapi ada juga yang tidak. Jika dipandang lebih banyak
masalah yang ditimbulkan jika dilakukan penimbunan maka itu tidak boleh karena
daerah pesisir ini merupakan daerah yang memiliki kekayaan alam serta tempatnya
bagi nelayan kecil mencari nafka. Akan tetapi jika penimbunan itu lebih banyak
dampak kebaikannya terutama dinikmati rakyat kecil itu bisa saja, tapi kalau
merujuk pada aturan tentang zonasi wilayah pesisir itu tetap tidak
diperbolehkan.
Sebab
selain sebagai tempat hidupnya organisme juga sebagai tempat nelayan mencari
nafka. Apalagi nelayan itu dapat diidentikan sebagai orang “termiskin”,
sehingga ini perlu diberi tempat untuk mencari nafka demi menyambung hidupnya.
Berdasarkan data dari FAO dimana orang
termiskin akut di dunia sebanyak 800 juta orang dari penduduk dunia sebanyak 7 (tujuh)
miliar. Namun bila dibandingkan orang kaya maka bisa membiayai dua kali lipat
jumlah penduduk dunia yaitu 14 miliar masih mampu diberi makan. Tapi hanya 800
juta orang miskin akut tidak mampu diselesaikan dan itu sudah pasti didalamnya
terdapat nelayan yang hidupnya sangat memprihatinkan.
Olehnya itu, melihat daerah-daerah yang
memiliki potensi yang cukup untuk memberikan keleluasaan bagi rakyat pesisir
tentunya tidak sewenang-wenang dalam membangun dengan dalih membangun itu demi
untuk dimanfaatkan kepada masyarakat nantinya. Hal itu tidak mungkin terjadi
karena jika bangunan atau tempat perbelanjaan dibangun maka karyawannya belum
tentu dari masyarakat yang miskin ini karena berbicara masalah pendidikan.
Kita lihat saja dilapangan bahwa orang
miskin ini tidak mampu mengenyam pendidikan sesuai harapan pemerintah, karena dana
BOS yang diperuntukkan untuk membiayai pendidikan sepertinya tidak cukup karena
masih terksean ada penyalahgunaan di lapangan, sehingga dana itu hanya
dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Buktinya, masih banyak anak orang
miskin yang tidak melewati bangku sekolah. Padahal seharusnya itu sudah
mendapatkan pendidikan gratis. Apalagi pemerintah telah mengalokasikan
anggarannya untuk pendidikan gratis.
Jadi wajarlah kalau nelayan ini
kehidupannya tetap seperti itu dan tidak ada kemajuan yang berarti. Hal ini
menjadi perhatian kita semua. Jangan hanya persoalan sepele saja lalu saling
tuding menuding dan tidak ada yang bertanggungjawab. Begitu pula kasus yang
dialami oleh pesisir pantai yang menjadi ciri khas Kota Makassar, tapi kini
semua itu menjadi hancur karena adanya beberapa bangunan yang menjulang tinggi
tanpa bisa dihentikan pembangunannya. Meski tetap melewati proses hukum
pemiliknya tapi pembangunannya juga tetap lancar, sehingga ini sama saja kalau
terjadi pembohongan publik.
Persoalannya banyak kasus yang masuk dan
berproses secara hukum, tapi para tersangkanya tidak ada yang diberi hukuman
sesuai dengan perbuatannya. Bahkan masih ada yang berlenggak lenggok tanpa ada
penahanan, padahal itu sudah jelas-jelas bahwa itulah pelakunya tapi penentu
kebijakan didalamnya tidak pernah bertindak sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku. Sehingga yang bisa terjerat hukumnya seperti pencuri sandal di masjid,
pencuri buah di pasar. Kalau persoalan besar tentunya tidak bisa karena jaring yang dipakainya adalah jaring
laba-laba.
Jika jaring laba-laba yang digunakan dalam
memutuskan perkara maka tersangka yang bermodal besar itu tidak akan mampu
dijaring karena jaringnya langsung sobek. Coba dilihat kalau pelakunya hanya
seekor nyamuk atau orang kecil dan yang dicurinya seperti mangga, mentimun dan
sendal tentunya ini bisa dijerat karena tidak mampu melawan.
Olehnya itu, kalau memang persoalan
penimbunan pesisir ini mau diproses
secara hukum yang berlaku maka itu tidak boleh ada intervensi dari orang besar,
sehingga proses hukumnya bisa berjalan dengan baik.
Mudah-mudahan penimbunan pesisir ini
bisa segera diselesaikan oleh yang berwenang, agar masalah ini tidak berlarut-larut
lagi demi untuk menyelamatkan wilayah pesisir.
Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar