Indonesia yang memiliki kekayaan sumber
daya alam laut yang sangat melipah, sehingga banyak orang “jatuh cinta” dengan
laut Indonesia. Wajar saja jika banyak tamu tak diundang memasuki perairan
Indonesia untuk mengeruk sumber daya alamnya terutama ikan. Pasalnya, ikan yang
ada di Indonesia itu masih sangat melimpah, sehingga ini perlu dipikirkan untuk
dikelolah agar menjadi kekuatan ekonomi bagi masyarakat khususnya yang
berdosmisi di daerah pesisir.
Seperti halnya yang terdapat di laut
Arafuru dimana ikan-ikan yang ada disitu tergolong sangat banyak dan bahkan
terkadang dibuang oleh masyarakat setempat lantaran tidak bisa dimanfaatkan.
Meski di daerah tertentu ikan-ikan tergolong mulai sulit ditemukan, namun di
Ambon atau NTT ini sangat berlimpah.
Tidak salah memang kalau potensi yang besar itu sepertinya tidak
disentuh oleh pihak yang terkait, sehingga masyarakat luar pun memaanfaatkan
wilayah tersebut untuk mengambil ikan-ikan yang ada di daerah tersebut. seperti
halnya kasus Benjani yang sudah menjadi
isu nasional lantaran perusahaan asing masuk ke wilayah tersebut untuk
menangkap ikan (mencuri Ikan), tapi tidak ada tindakan dari aparat yang
berwenang.
Bahkan kasus Benjani ini merupakan salah
satu pelanggaran yang sangat serius karena pekerjanya dijadikan budak. Artinya
perusahaan PT Pusaka Benjina Resources yang mempekerjakan nelayan ini seperti
budak karena hampir tidak ada waktu untuk beristirahat selama 24 jam. Makannya
pun hanya ikan atau kepala ikan yang dimasak lalu disantapnya. Padahal, sebagai
pekerja seharusnya dijamin makanannya dan kesehatannya, termasuk waktu
istirahatnya sehingga semua karyawannya harus diberi jam istirahat.
Akan tetapi di Benjina ini malah
sebaliknya, para nelayan atau yang bekerja pada perusahan tersebut hampir tidak
ada istiharat, sehingga wajar jika sudah banyak berjatuhan korban karena selain
tidak memiliki jam istirahat juga makannya tidak mencukupi bahkan tinggalnya di
tengah laut selama berbulan-bulan. Hal ini terjadi lantaran ikan yang ada di
situ tergolong banyak, sehingga kapal penangkap ikan setiap saat melakukan
pembongkaran di kapal penampung lalu dipotong kepala untuk dikirim ke negara
Thailand sebagai bahan baku untuk diolah.
Tidak salah memang kalau Negara Thailand
sebagai salah satu pengeskpor hasil olahan ikan yang cukup dikenal. Padahal
Thailand mengambil ikan di Indonesia dengan cara mencuri. Meski diketahui bahwa
Thailand ini mengambil ikan dari Indonesia lalu tidak ada tindakan dari aparat
atau pengawas perikanan, sengaja atau pura-pura tidak mengetahui aksi kejahatan
tersebut. Hal itu tidak terlepas dengan adanya “sogokan” yang diberikan oleh
perusahan tersebut kepada oknum petugas, sehingga kasus ini tidak terangkat ke
permukaan.
Padahal kalau memang mau jujur, jika
sogokan dan hasil yang diraup oleh negara luar itu sangat jauh beda. Bahkan
bisa mencapai triliunan rupiah. Hal ini perlu adanya ketegasan dalam menerapkan
aturan karena masih banyak staf dari instansi terkait yang sering “main
kucing-kucingan” dengan pimpinannya.
Hal tersebut yang terjadi di Benjina
hingga kini baru terungkap ke permukaan. Padahal kasus tersebut sudah lama
terjadi, tapi baru mencuat. Padahal, sebagai petugas dilapangan tidak seorang
pun yang lolos dari kegiatan seperti ini jika memang itu diseriusi dalam menengakkan
aturan yang telah dibuat. Sebab selama ini “permainan di tengah laut” masih
menjadi-jadi. Meski diakui bahwa sudah ada aturan yang telah dijalankannya tapi
hanya sebagian kecil dari aturan yang ada.
Bisa dibayangkan, kalau kasus Benjina
yang sudah lama ini tapi baru muncul dipermukaan, sehingga ini menjadi perhatian
kita semua. Jangan sampai kecolongan lagi dimasa datang. Hal ini sangat memalukan bagi aparat yang
berwenang dibidangnya, sebab banyaknya kasus pencurian atau perbudakan tapi
tidak terpantau oleh petugas.
Permasalahan di Pelabuhan Benjina,
Kepulauan Aru, Maluku tidak sebatas hanya pada isu perbudakan. Ada isu yang
lebih kompleks, mulai dari dugaan suap, sulitnya akses sehingga minimnya
petugas pengawasan. Saat pertama kali terkuak, isu perbudakan yang jadi pembahasan
utama. Kantor berita Assosiated Press melakukan investigasi tentang adanya
diskriminasi yang diduga dilakukan PT.
Pusaka Benjina Resources dan perusahaan asal Thailand yang terafiliasi
dengannya terhadap ABK asal Myanmar, laos dan Kamboja. Diskriminasi itu tidak
hanya berupa gaji dan fasilitas yang berbeda dengan WNI Thailand, namun juga
perlakukan fisik yang tidak manusiawi. Dari pengakuan puluhan ABK, mereka
dipaksa bekerja 22 jam, disiksa menggunakan ekor ikan pari, tak diberi makan
layak, hingga ada yang tewas di lautan. (detikNews)
Dari hasil diskusi penulis dengan
beberapa teman yang berasal dari NTT, dimana daerah tersebut memang ikannya
melimpah. Bahkan satu kapal speed boad saja dipakai memancing hanya dalam tempo
3 (tiga) jam kapal tersebut langsung penuh dengan ikan kakap merah yang berukuran
besar. Hal ini menandakan bahwa darah itu sangat kaya akan ikan, namun
pemerintah tidak ada kemauan dalam mendirikan pabrik pengolahan.
Sebab pada waktu tertentu ikan ini
sangat berlimpah, sehingga perlunya ada tempat penampungan yang disiapkan
pemerintah guna menjaga musim ikan. Kalau sudah diolah lalu diekspor tentunya
ini bisa berlipat ganda harganya, dibanding kalau hanya dieskpor dalam bentuk bahan
baku.
Olehnya itu, kasus Benjina ini menjadi
pelajaran bagi kita semua, terutama bagi KKP yang memang memiliki kewenangan
dalam memanfaatkan hasil laut baik itu dalam bentuk olahan maupun setegah
olahan, sehingga hasilnya pun bisa bersaing dan masyarakat juga dapat merasakan
hasilnya. Jangan hanya selalu berfikir untuk mengeskpor dalam bentuk bahan
baku, padahal kemampuan untuk mengelolah itu sangat bisa, asalkan dikerja
secara profesional. Mudah-mudahan kasus Benjina dan perbudakan nelayan yang
dialami masyarakat kecil hilang dari negeri ini. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar