Setiap warga negara selalu mendambakan
adanya perbaikan ekonomi sehingga kebutuhan rumah tangganya dapat terpenuhi.
Apalagi saat perekonomian di tanah air tergolong biasa-biasa saja. Meski banyak
yang beranggapan bahwa pemerintah selalu ingin melihat masyarakatnya hidup
serba berkecukupan atau perekonomian mereka meningkat. Tidak salah jika pemerintah
selalu ingin meningkatkan pendapatan masyarakat, sehingga pemerintah pun
berupaya untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara menuangkan peraturan atau
Undang-Undang guna memberikan yang terbaik.
Seperti halnya dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang diyakini dapat memberikan
yang terbaik kepada masyaarakat. Apalagi kalau kita menyimak pasal 31 ayat (2)
yang berbunyi penataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk;
(a). mewujudkan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, (b).
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, (c). mempercepat peningkatan
kualitas pelayanan publik, (d). meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan,
(e). meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah, (f) memelihara
keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya daerah.
Jadi peningkatan kesejahteraan masyarakat
memang itu yang didambakan semua orang terutama warga pesisir yang pekerjaannya
menangkap ikan di laut. Penangkapan ikan pun tidak bisa terlalu jauh keluar
karena keterbatasan kemampuan armada kapal. Sebab selama ini kapal nelayan itu
lebih banyak yang berukuran dibawah 5
Gross Tonase (GT), sehingga ini yang menjadi salah satu kendala. Sebab nelayan
di daerah pesisir tergolong terbatas dalam kemapuan untuk mengadakan kapal.
Sementara bantaun dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi juga sangat
terbatas.
Berdasarkan data dari DKP
Sulsel Jumlah nelayan tercatat sebanyak 33.377 RTP atau sekitar 166.885 orang
yang mengoperasikan armada penangkapan sebanyak 32.836 unit terdiri dari kapal
motor ukuran 30 – 50 GT sebanyak 16
unit, ukuran 20 – 30 GT 27 unit, ukuran 10 – 20 GT 151 unit, ukuran 5 –
10 GT 1.169 Unit, ukuran 0 – 5 GT 3.906 Unit, Motor Tempel 7.789 unit dan
Perahu Tanpa Motor 27.644 unit. Komposisi armada tersebut menunjukkan bahwa
struktur nelayan pengelola didaerah ini didominasi oleh nelayan kecil dengan
kemampuan operasi terbatas disektor perairan pantai.
Wajar saja jika masyarakat pesisir ini
masih terkesan atau identik dengan masyarakat termiskin dari kelompok
masyarakat lainnya. Sebab melihat alat yang digunakannya itu terbatas. Belum
lagi undang-undang yang telah dibuat oleh pemerintah dan langsung diberlakukan
tanpa adanya uji publik dan sosialisasi ke masyarakat, sehingga ini yang
membingunkan warga. Wajar saja jika pelaksanaan undang-undang ini sangat disayangkan
oleh semua pihak karena khusus bab atau pasal-pasal yang tertuang didalamnya
menyangkut perikanan dan kelautan itu sangat tidak memihak kepada masyarakat.
Bisa dibayangkan kalau penerbitan izin
usaha perikanan tangkap untuk kapal perikanan berukuran 5 - 30 GT izinnya
diterbitkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi. Nah, kalau itu
diberlakukan maka wajar saja kalau kita katakan bahwa peraturan itu memiskinkan
nelayan sebab mengurus surat izin kapal saja sangat jauh dari lokasi, sementara ada dinas kelautan dan
perikanan di Kabupaten/Kota. Nah, ini yang menjadi persoalan karena tidak semua
pemilik kapal itu mampu mengurus kelengkapan izin kapalnya. Kalau seperti itu
berarti bukannya pemerintah semakin mendekatkan diri kepada masyarakat, tapi
sebaliknya malah semakin menjauh dan membuat masyarakat nelayan semakin “menderita”.
Sebab tidak sebanding kalau hanya memiliki kapal 5 GT tapi izin operasionalnnya
diambil di Provinsi. Jadi pasti ada pihak ketiga dalam hal ini untuk membantu menguruskan
surat-suratnya sehingga itu membutuhkan jasa orang lain.
Olehnya itu, masyarakat yang bedomisili
di daerah siap-siap untuk menambah biaya pengurusan izin kapal karena aturan
tersebut sudah menghendaki semua kapal milik nelayan di atas 5 GT harus diurus
di provinsi. Sementara di atas 30 GT
harus diurus di Jakarta. Inilah yang harus dipikirkan karena pengusaha dan
nelayan kecil ini semakin terjepit lantaran undang-undang yang tidak berpihak
kepada masyarakat kecil.
Kesannya bahwa peraturan ini dibuat
hanya untuk memperkaya orang-orang pusat karena semua kewenangan kabupaten kota
di daerah akan ditarik semua ke provinsi, begitupula dengan provinsi semuanya
ditarik ke pusat. Jadi bantuan kapal untuk nelayan dari provinsi akan diambil
alih kembali provinsi. Nah, pertanyaannya kapal tersebut dimana akan disimpan ?
siapa yang akan merawatnya? Apakah ini tidak memberatkan masyarakat sebab bantuan
itu digunakan untuk nelayan sebab sudah dipakai untuk menangkap ikan tiba-tiba
ditarik kembali. Kalau semua bantuan itu
ditarik ke provinsi maka puluhan kapal ada di provinsi, Cuma tempatnya yang
jadi maslah dan lama kelamaan akan rusak juga kalau tidak dimanfaatkan.
Memang diakui bahwa nelayan yang ada di
kabupaten tidak terikat lagi dengan jarak dari pesisir pantai. Sebab dulu
kewenangan kabupaten hanya 4 mil ke luar, jadi nelayan yang melewati batas
tersebut harus mengambil izin kembali di daerah dimana mereka berlabuh.
Sekarang ini kewenangan provinsi tetap
12 mil dan semua nelayan yang melintas kabupaten tidak perlu lagi mengambil
izin di kabupaten lain. Tapi karena pemberian izinnya yang menjadi masalah
sebab izin diambil di provinsi. Jangankan di provinsi, di kabupaten saja masih
banyak nelayan yang belum pernah menginjakkan kakinya di dinas kabupaten untuk
mengurus izin, terlebih jika dialihkan ke provinsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar