Pesta demokrasi tidak lama lagi akan digelar.
Bahkan pemilukada yang dihelat secara serentak ini pada sebelas kabupaten/kota
di Sulawesi Selatan (Sulsel) bakal membuat para calon memutar otak untuk
memenangkan pilkada. Betapa tidak, jika semua kontestan ini merasa di atas
angin lantaran simpul-simpul suara sudah dikunjungi untuk melakukan kampanye
dan bahkan sudah mendapat apresiasi dari masyarakat terutama para tokoh
masyarakat itu sendiri, sehingga wajar jika mereka merasa yakin akan bisa
meraih apa yang dicita-citakan.
Mereka semua merasa yakin bahwa dengan
adanya dukungan tokoh masyarakat pada dirinya itu membuat lebih percaya diri.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa tokoh masyarakat ini yang berkunjung di
daerahnya semuanya diterima dan diperlakukan dengan baik, tinggal bagaimana
keputusan akhirnya itu yang harus diperhatikan. Karena tidak semua kantong-kantong
suara itu bisa dipercaya seratus persen dukungannya kepada salah satu kandidat.
Meski diakui bahwa diantara
kantong-kantong suara yang mereka
datangi itu, masih terdapat kantong suara yang tidak kalah hebatnya yaitu
pemilih pemula. Pemilih pemula ini harus diperhitungkan karena suara pada
pemilih pemula itu juga sangat menentukan kemenagan salah satu calon. Wajar saja
jika para kandidat ini juga memburuh ataukah bisa menjaring agar suara bisa
bertambah. Sebab banyak anak remaja yang pertama kali melakukan penjoblosan,
jadi selain harus diberi pemahaman yang matang juga harus diyakinkan bahwa
itulah pilihannya.
Akan tetapi perlu juga diingat bahwa
pemilih pemula itu bukanlah orang yang tidak paham akan pemilukada ini, tapi
malah dia tergolong pemilih cerdas yang mampu membaca siapa-siapa yang pantas
didukung untuk menduduki kursi nomor satu di daerah masing-masing. Olehnya itu,
para kandidat ini tidak perlu juga buru-buru dalam mengklaim suara pada
daerah-daerah tertentu, karena politik itu sangat susah dipastikan dan kata
pasti memang tidak ditemukan di dalam pilkada. Meski itu daerah atau basis massa
salah satu calon, tapi itu juga bukan suatu jaminan yang pasti sebagai
pendukung atau menunjuknya. Sebab masih banyak pertimbangan yang harus dilalui.
Terlebih dengan adanya suhu politik yang semakin tinggi mendekati penjoblosan sehingga
suara masyarakat itu susah diprediksi siapa yang mereka dukung.
Belum lagi kalau cara melakukan
sosialisasi atau kampanye di
daerah-daerah terutama di daerah terpencil kurang memuaskan masyarakat,
sehingga ini juga bisa menjadi boomerang tersendiri bagi calon bupati/calon
wakil bupati sebab kebanyakan para calon itu memberikan janji manis saat
kampanye. Tapi setelah duduk atau terpilih nantinya menjadi orang nomor satu
daerah tersebut, maka janji itu hanya sebatas janji tanpa bisa dipenuhi. Wajar
saja jika sekarang ini banyak masyarakat yang selalu waspada dan menunggu
sesuatu dari para calon bupati dan calon wakil bupati ini. Sebab melihat
kenyataan di lapangan bahwa kebanyakan calon hanya mengucapkan janji yang manis
dimulut, sehingga masyarakat meresapi ucapan tersebut dan membayangkan betapa
enaknya jika janji itu benar-benar terwujud, tapi apa lacur setelah ia pergi
dan duduk menjadi penguasa, maka janjinya itu dilupakan begitu saja. Ibarat
kacang lupa kulitnya sehingga masyarakat sekarang banyak yang tidak mau lagi
tertipu dengan janji manis para pelaku politik ini.
Tidak heran jika masyarakat yang sudah “disalimi”
dengan kalimat yang manis, maka mereka selalu waspada dan menunggu apa bantuan
dari calon tersebut. Wajar juga jika mereka selalu melihat adanya bantuan dari
para calon, meski itu tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan suara
yang disumbangkan kepada kandidat ini, tapi itulah kenyataan di lapangan bahwa
masyarakat sudah menjadi rahasia umum kalau menunggu “bingkisan” dari calon. Tidak
heran jika sekarang ini selalu terungkap bahwa jangan melakukan many politic
terhadap masyarakat, tapi apa mau dikata kalau memang masyarakat juga yang
menghendaki sehingga itu tetap terjadi. Wajar saja jika banyak calon melakukan
berbagai cara untuk merebut hati rakyat demi untuk mendukung dirinya menjadi
bupati.
Apalagi kalau orang tersebut bukanlah
suatu figure yang diakui oleh masyarakat sehingga memang mengandalkan uang
untuk menduduki jabatan tersebut. jika dilihat kapasitasnya sebagai calon bupati
dan calon wakil bupati dimana adu argumentasi alias debat calon yang diselenggarakan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-maisng daerah, jelas terlihat bahwa
kebanyakana kandidat itu menjawab atau melontarkan kalimat yang tidak sesuai dengan
apa yang ditanyakan pemandu bahkan harapan masyarakat pun tidak terwakili.
Bukan hanya itu, tapi juga mereka tidak paham akan dikemanakan daerahnya nanti
setelah mereka terpilih. Wajar saja jika uang sebagai “raja dunia” selalu menjadi
ujung tombak dalam berbicara untuk meraih simpati masyarakat agar mereka mulus
menduduki kursi empuk.
Berbeda jika memang calon tersebut
adalah figure atau calon pemimpim yang dicintai dan disukai masyarakat, sebab
figure tersebut selain pintar dan cerdas juga mampu merangkul masyarakat
sehingga biasanya terpilih tanpa adanya uang. Masyarakat selalu mendukungnya karena figurnya sudah dikenal dan
tahu betul sifat dan prilakunya termasuk bobotnya. Jadi biar tidak diberikan
uang sebagai “pelicin” untuk menduduki posisi orang nomor satu di daerah itu,
maka mereka tetap ramai-ramai memilihnya karena sudah tahu betul siapa yang
pantas dipilihnya. Begitupula dengan pemilih pemula yang selalu menjadi rebutan
bagi para kontestan. Tidak heran jika pemilih pemula ini harus dijaring guna
menambah perolehan suara.
Mudah-mudah pemilih pemula yang terjaring
oleh para kandidat ini tidak salah pilih sebab kapan tidak sesuai dengan
harapan masyarakat, maka sia-sialah sebagai orang yang baru pertama kali
melakukan penjoblosan. Semoga apa yang diharapkan semua orang bisa terwujud.
Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar