Indonesia dikenal sebagai Negara maritim
karena memiliki luas laut yang sangat fantastis, bahkan luasnya mencapai 70
persen dari luas daratan sehingga Presiden Joko Widodo melontarkan gagasan
tentang poros maritim dan mendapat respon dari berbagai kalangan, baik dalam negeri maupun
luar negeri. Gagasan ini sangat menyejukkan hati semua orang terutama bagi
pelaku ekonomi kelautan baik nelayan besar maupun nelayan kecil.
Betapa tidak, jika poros maritim bisa
segera diwujudkan untuk menjadi sebuah pembangunan yang tangguh, apalagi Bangsa
Indonesia adalah bangsa pelaut. Wajar saja jika gagasan Presiden ini banyak
yang bermimpi untuk segera menjadi kenyataan karena tanpa adanya keseriusan
dalam menjalankan gagasan tersebut tentunya ini hanya menjadi sia-sia dan berubah
menjadi sebuah catatan kecil yang pernah ditulis.
Memang diakui bahwa kegelisahan dan
keinginan Presiden Jokowi untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini sebagai
pelaut tetap membara. Sehingga ini perlu dukungan semua pihak untuk sama-sama
dalam memperbaiki semua lini.
"Usahakanlah
agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti
seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi
bangsa pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai
armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang
kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri." (bakosurtanal.go.id)
Itulah
penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada tahun 1953. Pidato tersebut
tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf
Kalla (2014-2019). Hingga kini kita masih memiliki sejumlah masalah besar yang
perlu segera diatasi sebelum kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia.
Olehnya
itu, gagasan poros maritim ini perlu dukungan semua pihak agar apa yang dicanangkan
itu bisa terwujud. Sebab dari awal pemimpin Indonesia sudah bertekad untuk
menjadikan negara dan bangsa ini sebagai sesuatu yang besar sehingga bangsa
luar dapat melihat kebesaran bangsa Indonesia yang bisa disegani dari segala
sektor.
Akan
tetapi, keberadaan bangsa ini terutama sektor kelautan dan perikanan masih
tergolong memprihatinkan. Pasalanya, luas laut dan kekayaan alam yang dimiliki,
tapi itu terkesan hanya sebuah nama karena ikannya masih tetap dicuri oleh
nelayan dari luar negeri. Hal ini sangat menyedihkan sebagai negara maritim
yang tidak mampu kita kendalikan dan menjaga keberadaannya.
Bayangkan,
kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus
saja marak terjadi. Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi
pendapatan sektor perikanan laut kita jika tanpa illegal fishing
mencapai Rp. 365 triliun per tahun. Namun, akibat illegal fishing,
menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011), pendapatan tersebut
hanya berkisar Rp. 65 triliun per tahun. Jadi ratusan triliun rupiah devisa
negara hilang setiap tahun.( bakosurtanal.go.id)
Melihat
banyaknya pencurian ikan di laut maka mau atau tidak pemerintah harus segara
mengantisipasinya untuk mewujudkan poros maritim sebagai sebuah kejayaan dimasa
datang. Namun, bukan hanya itu yang menjadi perhatian, tapi juga bagaimana
nasib nelayan kecil yang masih memiliki armada sangat terbatas. Memang diakui
bahwa sudah ada nelayan yang memiliki kapal tapi kapalnya masih berukuran kecil
sehingga belum mampu mengarugi lautan lepas untuk mencari ikan.
Bahkan nelayan yang hanya memiliki
perahu sampan yang jumlahnya sangat besar sehingga ini juga perilaku
dipikirkan. Apalagi adanya kebijakan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) yang
tertuang dalam bentuk Peraturan Menteri (permen) No. 1 Tahun 2015 tentang
larangan menangkap kepiting bertelur. Hal ini pula menjadi salah satu persoalan
yang harus segera diselesaikan meski kebijakan itu tujuannya sangat bagus agar biota
laut tetap terjaga sehingga yang bisa ditangkap dengan ukuran tertentu.
Semakin
berkurangnya populasi kepiting dan lobster sudah mulai terlihat di dua tempat
yaitu di Simeuleu, Aceh dan Pangandaran, Jawa Barat. Susi yang juga mantan
pengusaha ikan di kedua tempat itu mengatakan, jumlah tangkapan kepiting dan
lobster menurun tajam."Di Simeuleu sekarang ini, sudah susah dapat yang
betina. Hasil tangkap lobster di Pangandaran Selatan tahun 2005 lalu 2-3 ton
per hari, sekarang tidak sampai 1 kwintal," paparnya. (detikfinance)
Olehnya itu, adanya Permen ini yang
mengatur regulasi ekspor biota laut sangat bagus lantaran menjaga keberlanjutan
dimasa datang. Meski disisi lain pihak perusahan yang bergerak disitu merasa
tidak nyaman dengan adanya peraturan ini karena mereka sudah dibatasi
kebebasannya dalam menangkap rajungan di alam.
Begitupula dengan nelayan kecil yang
pekerjaan setiap harinya hanya menangkap ikan, lobster dan rajungan di dekat
pesisir karena keterbatasan armada, sehingga ini harus diperhatikan mengingat
pemerintah ingin meningkatkan penghasilan para nelayan tersebut.
Penangkapannya diperbolehkan, asalkan
tidak dalam kondisi sedang bertelur dan sesuai dengan ukuran minimum yang sudah
ditetapkan dalam peraturan. Adapun ukuran yang diperbolehkan yakni Lobster
dapat ditangkap dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm, Kepiting di atas 15
cm dan Rajungan dengan ukuran lebar karapas di atas 10 cm. "Pembatasan
penangkapan ini dilakukan karena keberadaan dan ketersediaan ketiga spesies itu
telah mengalami penurunan yang drastis," ungkap Susi. (kotaikan.blogspot.com).
Olehnya
itu, nelayan yang setiap harinya mencari ikan dan biota laut lainnya di daerah
pesisir pantai menjadi perhatian untuk menyelamatkannya dengan menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim. Persoalannya, jangan sampai poros maritim ini
menjadi pemicu terjadinya konflik di tengah laut kalau nelayan kecil tidak
difikirkan nasibnya. Memang keinginan pemerintah untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat terutama bagi masyarakat pesisir (nelayan) yang hidupnya masih pas–pasan,
tapi dengan poros maritim diharapkan bisa mengubah semuanya untuk menjadi yang
terbaik. Semoga !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar