Rabu, 30 Januari 2013

Ketika Anggaran Pesisir dan Pulau “Disunat” ?


Indonesia  merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (the largest archipelagic country in the world) dengan wilayah laut yang lebih luas dari pada daratan, sehingga wajar jika banyak yang berminat untuk mengambil keuntungan dari sumber daya yang tersedia itu. Bukan hanya petani nelayan yang memakai alat tangkap secara tradisional, tapi juga nelayan yang sudah menggunakan alat tangkap yang modern.
Tidak heran jika luasnya laut yang begitu besar maka tentunya potensi Sumber Daya Alam (SDA) pun  di dalamnya juga tergolong cukup banyak yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang. Bila dilihat dari data yang ada dimana luas laut secara keseluruhan adalah perairan laut teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2 dan  Indonesia juga memiliki hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar 2,7 juta km2
Khusus Sulawesi Selatan memiliki panjang garis pantai sekitar 1.973,7 km dengan luas perairan laut 45.574,48 km2,  yang terdiri dari 3 kawasan yakni Selat Makassar, Laut Flores dan Teluk Bone, serta memiliki hamparan pulau-pulau kecil dalam kawasan kepulauan Spermonde. Hal ini merupakan salah satu potensi yang cukup besar bila dikelola dengan baik, sehingga kedepan dapat menghasilkan devisa negara yang cukup besar.

Sumber daya hayati, khususnya perikanan, merupakan salah satu sumber daya penting, baik untuk produksi pangan, bahan baku industri, obat-obatan, dan lain-lain. Sumber daya perikanan merupakan sektor ekonomi di mana masyarakat pesisir bergantung.  Karenanya, potensi ini harus dimanfaatkan secara optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pemasukan devisa negara.
Sayangnya, nelayan yang merupakan sumber daya manusia (SDM) utama dalam pemanfaatan sumber daya perikanan pun hidup dalam kondisi yang mengenaskan. Dengan jumlah nelayan yang diperkirakan 3,5 juta orang, mereka sering disebut sebagai masyarakat termiskin di antara masyarakat miskin (the poorest of the poor). Nelayan hidup di desa-desa pesisir dan pulau-pulau yang minim sarana dan fasilitas publik, sementara mereka harus bekerja keras untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat kota.
            Untuk mendukung semua itu, tentunya dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Karena mengurus daerah pesisir tidak seperti mengurus dengan bidang lainnya yang telah ada. Namun, biasanya pemerintah berkeinginan untuk membangun wilayah pesisir yang dominan masyarakat “miskin” kata orang-orang, sehingga ini perlu diberikan anggaran yang memadai. Akan tetapi anggaran itu terkadang tidak bisa disiapkan lantaran penentu kebijakan memiliki kebiasaan yang baik yaitu suka memotong anggarannya SKPD.
            Bahkan ketukan palu terkadang tidak jatuh akibat belum adanya negosiasi antara pihak SKPD dengan anggota dewan yang minta potongan persen untuk masuk kantong pribadi. Wajar saja jika wilayah pesisir terkesan diabaikan lantaran perhatian pemerintah tidak bisa mengarahkan pekerjaannya ke arah itu sebab anggarannya ditolak. Ironisnya, ada lagi anggaran yang lolos tapi dinas yang berwenang itu terkadang hanya pelaksananya saja sementara yang punya kegiatan adalah anggota dewan itu sendiri.
            Jadi apalah artinya ada bantuan jika tidak sepenuhnya diberikan kepada masyarakat bawah yang memang membutuhkan. Bahkan kalau dilihat masyarakat pesisir yang sudah melakukan budi daya rumput laut dengan perasaan gembira lantaran hampir semua daerah pesisir sudah digalakkan membudidayakan rumput laut dengan target satu juta ton. Malah angka itu telah melebihi atau melampaui target, tapi anggota dewan kembali membuat ulah dengan memotong anggaran bagi pembudidaya rumput laut dengan alasan tidak perlu terlalu banyak produksi rumput laut. Padahal, sebelumnya dia sendiri yang menghendaki untuk menggenjot budi daya rumput laut tersebut khususnya di daerah ini. Tapi apa lacur itulah yang dialami oleh masyarakat pesisir. Padahal, rumput laut cukup diminati dan sangat membantu masyarakat pesisir, tapi kenyataannya bahwa anggota dewan sudah melenceng dari apa yang telah disepakatinya.
            Jadi apalah artinya menggenjot produksi rumput laut dengan memberikan bantuan kepada petani rumput laut kalau langsung dikurangi lagi. Sementara petani tersebut sudah mulai berkembang apalagi daerah ini mau dijadikan sebagai sentra produk rumput laut di dunia. Beginikah kebijakan anggota dewan sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan anggaran ?
            Padahal, kalau kita kaji dan amati bahwa masyarakat pesisir memang perlu diberikan bantuan akibat adanya stegmen bahwa masyarakat pesisir itu “identik dengan masyarakat miskin”, sehingga untuk merubah argumen itu harus diberikan bantuan modal guna dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
            Oleh karena itu, anggaran pembagunan daerah pesisir dan pulau ini perlu ditambahkan dan tidak boleh disunat alias dipotong. Pasalnya, kalau hal itu tetap dilakukan berarti anggota legislatif itu membantu alias melepaskan tapi memegang ekornya, sehingga eksekutif tidak bisa berbuat banyak.
            Tidak salah memang jika ada anggapan bahwa awal mula terjadinya korupsi atau pencurian uang negara di tanah air itu berasal dari DPR baik di pusat maupun di daerah. Sehingga kebiasaan itu perlu dirubah dan ditinggalkan, karena kalau cara-cara itu masih tetap dipertahanan maka negara ini mau dibawa kemana. Sementara dimana-mana selalu digaungkan pemberantasan korupsi dan bahkan anggota dewan sendiri yang selalu dan ingin menghapus korupsi di negeri ini, tapi kenyataannya malah DPR yang menjadi kunci berakhirnya korupsi di Indonesia.
            Dengan demikian, maka anggaran yang diajukan pemerintah melalui pemandangan umum di hadapan DPR perlu mendapat perhatian yang serius agar apa yang tulis itu perlu diapresiasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berdomisli di daerah pesisir.
            Untuk membangunnya perlu dialokasikan anggaran yang cukup tinggi, sehingga bisa berproduksi yang banyak asal pengelolaannya dikerjakan dengan baik. karena potensi wilayah pesisir dan pulau yang dimiliki itu perlu dikelola dengan mengacu pada aturan yang ada sehingga ekosistem di dalamnya dapat diselamatkan. Sebab banyak yang mengelola wilayah peisisr tapi asal membangun tanpa memperhatikan aturan yang ada. Salah satu contoh adalah daerah atau wilayah pesisir yang perlu dibangun guna memberikan hasil kepada masyarakat. Jangan dirusak hanya karena adanya kepentingan pribadi didalamnya sehingga semua dikerjakan semaunya.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pasal 5 dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu, dengan tidak adanya penyunatan atau pemotongan anggaran yang diajukan oleh SKPD itu, maka ke depan masyarakat pesisir dan pulau akan merasakan dampaknya yaitu kesejahteraannya dapat meningkat seiring dengan kemauan pemerintah untuk menghapus kemiskinan di Indonesia. Semoga. !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar